Selasa, 13 Oktober 2009

Undang-Undang Kejaksaan yang Baru : Gagalnya Campur Tangan DPR

Rencana semula hanya sekedar merevisi, eh akhirnya membuat satu Undang-Undang Kejaksaan yang baru. Lebih dari 50 persen mengalami perubahan dan banyak hal baru diperkenalkan. Tapi keinginan DPR untuk ikut terlibat dalam uji kelayakan seorang calon jaksa agung kandas.

Betapa tidak, usulan agar pengangkatan Jaksa Agung dilakukan atas persetujuan DPR gagal disetujui. Semula, ada harapan agar posisi Jaksa Agung diisi oleh seseorang yang sudah melewati fit and proper test di DPR. Sama seperti calon hakim agung atau anggota BPK. Pasal 19 ayat (2) draf awal RUU Kejaksaan menyebutkan bahwa “Pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung diresmikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Usulan itu agar DPR terlibat dalam pengangkatan jaksa agung bukan hanya datang dari Senayan, tetapi kabarnya juga sudah terdapat dalam naskah RUU yang disampaikan Kejaksaan Agung kepada Presiden.

Pada saat Rapat Panitia Kerja (Panja), Februari 2004, ketentuan pasal 19 RUU (versi Baleg) mengenai pengangkatan jaksa agung terdiri dari lima ayat: (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara; (2) Pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung diresmikan oleh presiden dengan persetujuan DPR; (3) Calon jaksa agung diajukan Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Persetujuan DPR sudah harus diberikan paling lambat 30 hari sejak pengajuan permintaan persetujuan diterima DPR; (5) Presiden meresmikan pengangkatan jaksa agung dalam tenggang waktu paling lambat tujuh hari sejak diterima DPR.

Namun dalam pembahasan di tingkat Panja, hanya ayat (1) yang tidak dikritik Pemerintah. Bahkan untuk ayat (4) dan ayat (5), pemerintah mengusulkan agar dihapuskan sama sekali. Sementara untuk dua ayat lainnya, ada klausul sandingan dari pemerintah. Dalam konteks ayat (3) misalnya, muncul perdebatan karena pemerintah mengusulkan agar jaksa agung diangkat dari wakil jaksa agung atau jaksa agung muda dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karir. Lantas, muncul perdebatan apakah jaksa agung harus karir, atau boleh dari kalangan non karir.

Rumusan ayat (3) tadi menjadi bahan perdebatan. Sehingga, dalam rapat Panja pada 1 Juli lalu ayat ini terpaksa di-pending pembahasannya. Demikian pula ayat (4) dan ayat (5), harus ditunda pembahasannya. Alotnya pembahasan ketiga klausul tadi menyebabkan lobby yang berperan. Hasilnya? Ketiga ayat tersebut dihapus.

Dalam draf yang disahkan Rapat Paripurna 15 Juli lalu, pasal 19 hanya terdiri dari dua ayat. Selain ayat tentang status jaksa agung sebagai pejabat negara, disepakati bahwa jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Sebuah rumusan yang sama dengan ketentuan Undang-Undang Kejaksaan No. 5 Tahun 1991.

Karir atau non karir

Disinilah tampak kalahnya ‘diplomasi’ DPR. Keinginan anggota Dewan untuk terlibat dalam pengangkatan jaksa agung hanya tinggal kenangan. Sengajakah mengalah untuk kompromi tertentu? “Tidak ada kompromi sama sekali,” tandas Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman.

Namun sumber hukumonline mensinyalir bahwa pasal mengenai keterlibatan DPR tadi gagal setelah ada jalan tengah di klausul syarat jaksa agung. Semula pihak pemerintah ngotot agar yang bisa menjadi jaksa agung hanya jaksa karir atau dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Pemerintah meminta agar syarat menjadi jaksa yang tercantum dalam pasal 9 huruf h, yakni PNS, juga diberlakukan untuk pengisian jabatan jaksa agung.

Dengan kata lain, hanya mereka yang meniti karir sebagai jaksa. “Yang lebih tahu urusan internal kejaksaan kan orang kejaksaan sendiri,” begitu kata Jaksa Agung M.A Rachman, dua hari sebelum DPR mengesahkan RUU Kejaksaan.

Kalangan DPR tampaknya menentang klausul yang menutup pintu bagi orang non karir menduduki kursi nomor satu di Gedung Bundar. Keberatan serupa datang dari sejumlah lembaga pemerhati seperti ICW, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI).

Walhasil, jalan komprominya ialah kembali ke klausul lama. Jaksa Agung bisa berasal dari internal kejaksaan, tetapi juga tidak dilarang dari orang luar (non karir). Ini berarti sepenuhnya diserahkan kepada presiden sebagai pejabat yang memegang hak prerogatif pengangkatan jaksa agung.

Sumber: HukumOnline

0 komentar:

Posting Komentar