Selasa, 13 Oktober 2009

MA Masih Butuh Manuver Untuk Mengkaji Yurisprudensi

MA masih belum menemukan formula terbaik cara perumusan yurisprudensi tetap. Perlu perombakan tim peneliti dan sistemasi baru dalam pembentukan hukum via yurisprudensi di Indonesia.

Ketertutupan aksesibilitas publik untuk memperoleh putusan berakibat pada kurangnya akuntabilitas publik terhadap sejumlah putusan hakim. Akibatnya, putusan-putusan yang dikeluarkan MA dalam bentuk apapun, baik melalui majalan Varia Peradilan terbitan IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia), maupun putusan yang didapat para pihak berperkara, dijadikan acuan laiknya sebuah yurisprudensi. MA pun setiap tahun sudah menerbitkan kumpulan putusan melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung.

Selama ini, sudah menjadi rahasia umum, putusan hakim di tingkat Mahkamah Agung (MA) beberapa di antaranya saling bertentangan satu sama lain. Padahal putusan lembaga puncak peradilan itu sudah barang pasti bakal dijadikan acuan peradilan di tingkat bawahnya.

Tak heran jika seorang calon hakim agung yang kandas dalam fit proper test di DPR, Bagus Sugiri, pernah mengatakan hakim agung di MA sebaiknya dikurangi. “Biar tidak ada lagi cerita putusan saling bertentangan antara majelis hakim agung satu dengan lainnya,” ujarnya beberapa waktu silam.

Ini juga diakui oleh advokat senior Frans Hendra Winarta. Putusan-putusan MA tahun 1990 ke atas, menurutnya banyak yang inkonsisten satu sama lain. “Makin hari ke sini, malah terasa seperti terjadi kemunduran,” ujarnya lewat saluran telepon. Itulah kenapa Frans lebih suka mempelajari putusan-putusan sebelum 1990. “Putusan di masa itu malah lebih konsisten,” tambahnya.

Secara umum, persoalan perumusan yurisprudensi bukan melulu persoalan pengkodifikasian. Pengertian yurisprudensi yang dianut sistem hukum di Indonesia, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar (Edisi Kedua, Liberty Yogyakarta, hlm. 52) mengkategorikannya menjadi dua, yurisprudensi tetap dan landmark decision.

Perbedaan mendasar antar keduanya, landmark decision hanya butuh diakui masyarakat luas sebagai kaidah hukum terobosan terutama dalam perkara yang memancing perhatian publik. Sementara suatu putusan menjadi yurisprudensi tetap jika pernah digunakan sebagai acuan hakim dalam menjatuhkan putusan-putusan selanjutnya.

Tentang pengkategorian ini, menurut peneliti di Pusat Studi Hukum & Kebijakan Aria Suyudi, selama ini masih belum jelas betul mana sebuah putusan itu yang dianggap MA sebagai landmark decision dan mana yang yurisprudensi tetap. Namun ia menerangkan pada dasarnya semua telah setuju dengan pendapat bahwa yurisprudensi tetap lahir dari putusan yang telah diikuti berkali-kali oleh hakim agung.

“Akibatnya, di kalangan hakim agung sendiri masih sering terjadi putusan yang berlainan kaidah hukum yang dipakai,” ujarnya. Kriteria untuk menentukan itu, bagaimana merumuskannya hingga, lanjutnya, belum terkonsepsi dengan jelas.

Berdasarkan pengamatan hukumonline, selama ini penentuan putusan dalam terbitan Yurisprudensi MA dilakukan dengan penyetoran sejumlah putusan dari bagian arsip MA kepada pimpinan MA untuk disetujui menjadi yurisprudensi. Ditemui di ruang kerjanya, Kepala Bagian Arsip Keperdataan MA Klementina Siagian, Senin (17/9) di Gedung MA, mengatakan, selama ini ia bersama staf-nya mengklasifikasikan sendiri sederet putusan. Pertimbangannya dengan melihat apakah putusan itu sudah pernah dijadikan acuan oleh majelis hakim lain atau belum. “Nanti dimintakan persetujuan pada pimpinan,” jelasnya.

Nah, metode pengklasifikasian inilah yang menurut Aria selama ini masih perlu dicarikan bentuk lain. Sebab, biasanya atas permintaan sejumlah putusan, lalu bagian kaidah hukum atau arsip mencarikan dan menyodorkannya pada pimpinan. Dari beberapa putusan pilihan bagian arsip itulah nantinya akan disortir oleh pimpinan. Aria mengusulkan agar penentuan yurisprudensi tetap dilakukan dengan penelitian mendalam. “Riset mendalam idealnya harus dilakukan,” tambahnya.

Tim Penelitian Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi yang dibentuk lewat SK KMA No 19/KMA/SK/II/2007 tertanggal 29 Februari 2007 diharapkan bisa merombak keadaan ini. Namun, hingga kini masih mengaku gamang memilih langkah. Ketua tim Hakim Agung Prof Valerine J.L.K saat ditemui hukumonline awal September lalu mengaku masih ingin berkonsultasi dengan Pimpinan MA untuk memantapkan koordinasi tim peneliti. “Saya masih mau koordinasikan dulu dengan pimpinan untuk membahas masalah ini (yurisprudensi di MA-red),” ujarnya singkat. Padahal ditilik dari masa dibentuknya, seharusnya tim sudah mulai menggeber langkah.

Koordinator peneliti Nurhadi juga mengaku masih belum mendapat kejelasan bagaimana tim harus bekerja. Ditemui hukumonline di ruang kerjanya, Kamis (13/9), ia justru menyiratkan agar tim penelitian anggotanya direvisi. “Kita ingin mengusulkan pada pimpinan agar mantan hakim agung dilibatkan dalam tim penelitian itu,” bebernya. Namun, Nurhadi mengaku hal itu baru sebatas ancang-ancang.

Ide Nurhadi ini memang wajar. Sebab, dari 24 personil tergabung dalam Tim, anggota yang notabene berlatarbelakang hakim bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Selebihnya, tim peneliti didominasi pegawai struktural MA.

Menurut Aria, yang signifikan justru menentukan sistematika bagaimana sebuah putusan yang dianggap landmark decision bisa diterima oleh majelis hakim lain. Sehingga, tak perlu lagi ada putusan yang saling bertentangan kaidah hukumnya satu sama lain.

0 komentar:

Posting Komentar