Rabu, 21 Oktober 2009

Pelantikan Menteri Kamis Pukul 13.30
Ada 34 menteri yang akan dilantik dan tiga pejabat tinggi negara lainnya.


(ANTARA/Widodo S. Jusuf)

VIVAnews - Jika tidak ada aral melintang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melantik para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II pada pukul 13.30 WIB, Kamis 22 Oktober 2009.

Sebanyak 34 menteri dan tiga pejabat diumumkan SBY tepat pukul 22.00 WIB, Rabu 21 Oktober 2009 malam ini.

Berikut nama-nama menteri yang akan dilantik besok:

1. Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto, Menko Polhukam
2. Hatta Rajasa, Menko Perekonomian
3. Agung Laksono, Menko Kesra
4. Sudi Silalahi, Mensesneg
5. Gamawan Fauzi, Mendagri
6. Marty Natalegawa, Menlu
7. Purnomo Yusgiantoro, Menhan
8. Patrialis Akbar, Menkum HAM
9. Sri Mulyani Indrawati, Menkeu
10. Darwin Saleh, Menteri ESDM
11. MS Hidayat, Menperin
12. Mari Elka Pangestu, Mendag
13. Suswono, Menteri Pertanian
14. Zulkifli Hasan, Menhut
15. Freddy Numberi, Menhub
16. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan
17. Muhaimin Iskandar, Menakertrans
18. Djoko Kirmanto, Menteri PU
19. Endang Rahayu Sedyaningsih, Menkes
20. Muhammad Nuh, Mendiknas
21. Salim Segaf Al Jufri, Mensos
22. Suryadharma Ali, Menag
23. Jero Wacik, Menbudpar
24. Tifatul Sembiring, Menkominfo
25. Suharna Surapranata, Menristek
26. Syarief Hasan, Menkop UKM
27. Gusti Muhammad Hatta, Menteri LH
28. Linda Amalia Sari, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
29. EE Mangindaan, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
30. Helmy Faishal, Menteri PDT
31. Armida Alisjahbana, Menneg PPN/Kepala Bappenas
32. Musfata Abubakar, Meneg BUMN
33. Suharso Manoarfa, Menpera
34. Andi Mallarangeng, Menpora

Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan
Sutanto, Kepala BIN
Gira Wirjawan, Kepala BKPM

Minggu, 18 Oktober 2009

Skenario KPK Tanpa Pengadilan Tipikor

Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah Praktisi dan Konsultan Hukum]

 Sistem Peradilan Pidana Khusus.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi; supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6 huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.

Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No 20/2001).

Tanpa Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur “dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur “dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan” menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum (rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain (kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan Tipikor (kemanfaatan hukum).

Jika tenggat waktu tiga tahun telah habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus, mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal hitungan bulan.

Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada KPK atau tidak.

Skenario Alternatif.
Jika kita andaikan sikap pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945). Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law.

Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya

Oleh: Paustinus Siburian, SH., MH.
[Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual]

 ABSTRAK
Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.

Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

1. Pendahuluan
Pertanyaan yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu. Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.

Dalam putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109 PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.”

Dalam hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;

Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali.

Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali;

Bahwa “due proses of law” tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;

Menimbang, berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;

Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti oleh Majelis yang lain.

Tulisan ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada bahan hukum sekunder.

2. Tinjauan Atas Pasal 263 KUHAP
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.

Dikecualikan dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal ditempatkan dalam ayat tersebut.

Kalau kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa, berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.

Bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.

MA dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:

2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:

a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;

b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

Menyangkut butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal 263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal 263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.

Sebenarnya dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:

3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;

Namun MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3) tersebut.

Lagipula, secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya, untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.

Dengan demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.

3. Putusan Bebas dan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal 263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah “……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?

Dalam kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa dapat mengajukan PK.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.

4. Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.

Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).

Dalam Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus, Majelis PK MA menyatakan:

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”

Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.

Ini tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.

Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.

5. Pembatasan
Sesuai dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1. Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2. dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;

Pengajuan PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam kasaus-kasus tersebut.

6. Penutup
Sesuai dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.

Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.

MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

Law Offices of Paustinus Siburian
Kantor Bintaro JL. Cucur Timur III Blok A3 No 20 Bintaro Jaya Sektor 4 Tangerang 15225
Phone : 62 21 7363383, 62 21 70845062
Fax : 62 21 7363383
info@ipaust.co.id
Website: http://www.ipaust.co.id

Oleh: Zamrony, S.H., M.Kn.

[Penulis adalah Pembantu Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Hukum]

 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 memberikan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor sampai dengan 19 Desember 2009. Jika deadline terlewati, Pengadilan Tipikor terancam bubar dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK akan dialihkan ke pengadilan umum. Menurut jadwal, DPR menyisakan dua masa persidangan lagi. Yang pertama berakhir bulan Juli 2009, diselingi masa reses yang bertepatan dengan ajang pemilihan presiden, dan yang kedua akan berakhir September 2009. Namun, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor justru ditempatkan pada masa persidangan penutup masa jabatan anggota DPR.

Atas dasar itulah, publik melihat peluang pengesahan RUU itu amat kecil jika melihat kalkulasi waktu yang tersedia. Belum lagi, perdebatan alot terkait komposisi hakim ad hoc dan karir, kedudukan Pengadilan Tipikor, hukum acara, dan sebagainya, masih belum menemukan titik terang.

Problem Solving
Andai RUU Pengadilan Tipikor tidak berhasil disahkan DPR, tiada jalan lain untuk menyelamatkan eksistensi Pengadilan Tipikor selain Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Perppu sebagai produk hukum yang memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU, hanya saja proses pembentukannya berbeda dengan UU. Jika proses pembentukan UU dilakukan bersama oleh Pemerintah dan DPR dalam keadaan normal, tak demikian bagi Perppu yang diterbitkan tanpa pembahasan terlebih dulu dengan DPR mengingat kondisi abnormal (kegentingan memaksa) yang tak dapat ditangguhkan sampai dengan persidangan DPR berikutnya.

Presiden SBY dalam beberapa kesempatan baik sebelum dan selama masa kampanye Pemilu telah berulangkali mengungkapkan kesiapannya untuk menerbitkan Perppu. Namun, itu saja tak cukup bagi publik terutama pasca rencana KPK menghentikan penuntutan. Publik tetap mendesak agar Presiden SBY mempercepat penerbitan Perppu. Desakan ini sesungguhnya kurang tepat. Justru sebaliknya, lecutan semangat bagi anggota DPR lebih urgen dilakukan saat ini daripada mendesak Presiden. Bagi KPK, penuntutan kasus korupsi harus tetap dilakukan dengan mengingat ‘janji’ Presiden SBY.

Penerbitan Perpu saat DPR sedang melakukan pembahasan RUU berpotensi meningkatkan tensi politik relasi Presiden dengan DPR. Penerbitan Perppu dengan kondisi DPR tak berhasil memenuhi janjinya merampungkan UU dapat dibaca sebagai ‘wanprestasi’ DPR, namun sebaliknya, Perppu akan hadir sebagai ‘prestasi’ bagi Presiden. Tatkala tensi politik merangkak ke titik nadir, penolakan pengesahan Perppu menjadi sesuatu yang amat mungkin.

Pemilihan timing penerbitan akan menjadi salah satu faktor penentu lolos tidaknya Perppu menjadi UU. Jika dihitung dari sekarang, ada tiga opsi dimana penerbitan Perppu dapat dieksekusi Presiden, yaitu sampai dengan masa purna bakti DPR (1 Oktober 2009), pasca purna bakti anggota DPR sampai dengan pelantikan Presiden (1 Oktober – 20 Oktober 2009), atau pasca pelantikan Presiden sampai dengan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor (20 Oktober – 19 Desember 2009).

Opsi pertama, sebagaimana dijelaskan di atas sangat beresiko dilakukan. Namun opsi selebihnya relatif aman mengingat komposisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen lebih solid pasca kemenangan partai demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009. Dengan catatan, SBY kembali memimpin 5 tahun ke depan. Tidaklah berlebihan jika merujuk hasil penetapan pemenang Pilpres oleh KPU, kecuali putusan sengketa hasil Pilpres di MK membatalkan penetapan KPU itu.

Jika opsi kedua dan ketiga dilakukan, yang relatif berbeda hanya persoalan timing penerbitan saja, oleh Presiden 2004-2009 atau 2009-2014.

Bagaimana dengan ihwal kegentingan memaksa? Pengertian ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ tak selalu berhubungan dengan keadaan bahaya, namun cukup bila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak yang membutuhkan pengaturan sederajat dengan UU. Sesungguhnya tak ada parameter penentuan kondisi ‘kegentingan memaksa’. Penjelasan pasal 22 UUD 1945 pra amademen misalnya hanya mengatakan Perppu sebagai noodverordeningsrechts Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan memaksa).

Referensi paling mutakhir diintrodusir MK melalui putusan Nomor 003/PUU-III/2005 dalam judicial review Perppu No 1/2004 terkait penambangan di kawasan hutan lindung, yang ditandatangani Presiden Megawati menjelang akhir jabatannya. Saat itu MK menyatakan parameter ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR. Presiden SBY sah-sah saja jika lebih dini (akhir periode 2004-2009) menafsirkan unsur kegentingan memaksa telah terpenuhi. Yang pasti, semakin Pengadilan Tipikor mendekati sakratul maut 19 Desember, unsur kegentingan memaksa semakin mencekat.

Persiapan
Kesiapan Presiden untuk menerbitkan Perppu, wajib dibarengi dengan penyiapan draf Perppu sebagai antisipasi deadlock di DPR. Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Perppu, PP, dan Perpres menyatakan Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa memerintahkan penyusunan Perppu kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur Perppu, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.

Materi Perppu sebaiknya bukan menggunakan draf awal RUU Pengadilan Tipikor versi Pemerintah saja, namun juga mengadopsi hasil pembahasan terakhir RUU dengan DPR serta masukan unsur masyarakat. Semata-mata agar hasilnya dapat maksimal dan materi Perppu bukan hanya cerminan pendapat penuh pemerintah (government centris). Mengingat DPR tidak berwenang turut serta menyusun Perppu yang menjadi hak prerogatif Presiden.

Pasca penerbitan Perppu, dalam persidangan DPR yang berikutnya, Perppu akan dibahas. UU 10/2004 dan Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI mengatur tata cara pembahasan Perppu sama dengan pembahasan UU. Untuk hasil akhirnya, DPR hanya memiliki opsi menolak atau menerima Perppu agar disahkan manjadi UU. DPR tidak memiliki wewenang untuk menerima atau menolak sebagian. Jika diterima, Pengadilan Tipikor selamat. Jika ditolak, Pengadilan Tipikor kiamat. Semoga tidak. (*)

RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR ... TAHUN ...
TENTANGPENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSIDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan dalam rangka
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi telah
menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara, karena itu upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut
peningkatan kapasitas segala sumber daya baik kelembagaan,
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk
peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkembangkan
kesadaran dan sikap tindak masyarakat anti korupsi;
c. bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar
pembentukannya ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karena itu
pengaturan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu diatur
kembali dengan undang-undang yang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4359);
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4379);
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4150);
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK
PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hakim adalah hakim karier dan hakim Ad hoc.
2. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.


3. Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan
yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana
korupsi.
4. Penuntut Umum adalah penuntut umum pada Kejaksaan dan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang ditetapkan sebagai penuntut umum tindak
pidana korupsi.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan.
Pasal 4
Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan.
BAB III
KEWENANGAN
Pasal 5
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 6
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi;
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.


Pasal 7
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus penggabungan tuntutan ganti rugi
akibat suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi.
Pasal 8
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia
di luar wilayah negara Republik Indonesia.
BAB IV
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Hakim; dan
c. panitera.
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua
dan Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas
administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(4) Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada wakil ketua.
Bagian Ketiga
Hakim
Pasal 11
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim Ad hoc.
(2) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung.

(3) Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial.
(5) Hakim Ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat untuk masa
jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Pasal 12
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh)
tahun;
b. berpengalaman menangani perkara pidana;
c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik selama menjalankan tugas;
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara
pidana;
e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman di bidang hukum sekurangkurangnya
selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim Ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi, dan 20 (dua
puluh) tahun untuk Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses
pemilihan untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan
Pengadilan Tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim Ad hoc pada
Mahkamah Agung;
f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik;
h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i. melaporkan harta kekayaannya; dan
j. bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi.


Pasal 14
(1) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim Ad hoc pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung
membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan
masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan
transparan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim Ad
hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) diatur dengan peraturan
Komisi Yudisial.
Pasal 15
(1) Sebelum memangku jabatan, Hakim Ad hoc diambil sumpah atau janji
menurut agamanya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung;
b. Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim Ad hoc pada pengadilan tinggi;
c. Ketua pengadilan negeri untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 16
Hakim Ad hoc dilarang merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
c. pimpinan atau anggota lembaga negara;
d. kepala daerah;
e. advokat;
f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau
g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundangundangan.


Pasal 17
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Hakim Ad hoc yang
memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.
Bagian Keempat
Pemberhentian Hakim
Pasal 18
Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;
c. terbukti tidak cakap dalam menjalankan tugas;
d. telah memasuki masa pensiun, bagi Hakim Karier; atau
e. telah selesai masa tugasnya, bagi Hakim Ad hoc.
Pasal 19
Hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; atau
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 20
(1) Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi;
b. Presiden atas usul Komisi Yudisial untuk Hakim Ad hoc pada
Mahkamah Agung.
(2) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a, dilakukan apabila Hakim yang bersangkutan telah ditetapkan
sebagai tersangka.
(3) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir
tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian maka pemberhentian sementara
harus dicabut.
(5) Hakim yang diberhentikan sementara dilarang menangani perkara.
Pasal 21
Tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan
pemberhentian sementara, serta hak-hak Hakim yang dikenakan pemberhentian
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Hak Keuangan dan Administratif Hakim
Pasal 22
(1) Hakim mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan tanpa membedakan kedudukan Hakim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Panitera
Pasal 23
(1) Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan
khusus yang dipimpin oleh seorang panitera.
(2) Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan pengangkatan, dan
pemberhentian pada jabatan kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan
tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
BAB V
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Pasal 25
(1) Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyediakan informasi yang bersifat
terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penyelenggaraan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan informasi yang bersifat terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
BAB VI
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.

Pasal 27
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim
Karier dan Hakim Ad hoc.
(2) Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5
(lima) orang hakim, maka komposisi mejelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2
(dua).
(3) Penentuan mengenai jumlah dan komposisi hakim majelis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh masing-masing ketua
pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan
kepentingan pemeriksaan perkara kasus perkasus.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 28
(1) Setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menerima penyerahan berkas
perkara, dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk seorang Hakim untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan
mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kecermatan materi surat dakwaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemeriksaan
pendahuluan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak
tanggal penunjukannya.
(3) Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.
(4) Dalam hal Hakim berpendapat kelengkapan dan materi surat dakwaan
belum lengkap, surat dakwaan dikembalikan kepada penuntut umum untuk
diperbaiki.
(5) Surat dakwaan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima.
Bagian Ketiga
Penetapan Hari Sidang
Pasal 29
(1) Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan susunan majelis
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam waktu paling lambat 3
(tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal selesainya pemeriksaan
pendahuluan.
(2) Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksanakan dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan majelis
Hakim.
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 30
(1) Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, harus diperoleh
secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2) Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka
persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh
terdakwa.
Pasal 31
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5).
Pasal 32
Pemeriksaan tingkat banding Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara
diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Pasal 34
Dalam hal putusan pengadilan dimintakan peninjauan kembali, pemeriksaan
perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah
Agung.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 35
(1) Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini
dibebankan pada anggaran Mahkamah Agung yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Mahkamah Agung setiap tahun wajib menyusun rencana kerja dan
anggaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini.


b. Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi,
dan Mahkamah Agung, adalah Hakim Ad hoc sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 37
Sebelum terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4:
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf a, tetap berwenang mengadili tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi;
b. Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya tetap berwenang
mengadili tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
Penuntut Umum pada kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 38
Sebelum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4 dibentuk, perkara tindak pidana korupsi yang telah dilimpahkan atau
yang sedang diperiksa pada setiap tingkat pemeriksaan dan peninjauan kembali,
diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sebelum Undang-Undang ini.
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Hakim Ad hoc Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diangkat sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap bertugas
sampai dengan berakhirnya masa jabatan Hakim Ad hoc yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
(1) Dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dibentuk pada pengadilan negeri di setiap ibukota
provinsi.
(2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan.
(3) Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada setiap kotamadya
dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 dilakukan secara bertahap dengan Peraturan
Presiden.
(2) Dalam hal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tersedia Hakim Ad hoc yang mempunyai keahlian yang
diperlukan dalam pemeriksaan perkara, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat
meminta Hakim Ad hoc pada Ketua Pengadilan Negeri lainnya dalam daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.


Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 53 sampai dengan
Pasal 62 dari Bab VII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal .................
MENTERI HUKUM DAN HAK SASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA


Sumber : www.legalitas.org







KETERANGAN PRESIDENTERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Hadirin yang Kami Hormati,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua sehingga pada hari yang
berbahagia ini kita dapat bertemu dalam keadaan sehat wal’afiat guna menunaikan tugas
mulia kenegaraan, yakni membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
Perkenankanlah kami mewakili Presiden dalam kesempatan yang berbahagia ini
menyampaikan Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Penyampaian Keterangan Presiden kepada Dewan yang terhormat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pemenuhan syarat dalam tahapan pembahasan RUU di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, izinkan kami
menyampaikan Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, yang telah disampaikan oleh Presiden kepada Pimpinan DPR dengan surat
pengantar Nomor R-49/Pres/8/2008 tanggal 11 Agustus 2008.
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Pengajuan RUU ini didasarkan pada keinginan yang kuat dalam merespon dan
memenuhi amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012,016,019/PUU-IV/2006 tanggal
19 Desember 2006, tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang

2
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi telah memutus
bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan
perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Dalam kurun
waktu yang diberikan selama 3 (tiga) tahun tersebut, Pemerintah berupaya menyusun dan
menyampaikan RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum berakhirnya batas
waktu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam mempersiapkan RUU, Pemerintah terlebih dahulu mengkaji putusan
Mahkamah Konstitusi dan melakukan penelitian mengenai pembentukan pengadilan tindak
pidana korupsi yang dituangkan dalam Naskah Akademik. Naskah Akademik tersebut
merupakan dasar penyusunan RUU yang telah kami persiapkan sejak setelah putusan
diumumkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan prosedur penyusunan RUU, Naskah
Akademik tersebut telah pula kami sampaikan bersamaan dengan penyampaian RUU kepada
DPR-RI.
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Perkenankan kami menyampaikan beberapa materi pokok yang diatur dalam RUU
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Tempat dan Kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dengan mempertimbangkan segala kemampuan yang ada dan agar penyelenggaraan
pengadilan tidak pidana korupsi dapat berjalan sesuai dengan harapan maka untuk
pertama kali pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk pada pengadilan negeri di
ibukota provinsi. Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, pengadilan
tindak pidana korupsi dibentuk pada setiap kotamadya yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pembentukan
pengadilan tindak pidana korupsi selanjutnya dilakukan secara bertahap dengan
Peraturan Presiden.


2. Kewenangan
Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
termasuk tindak pidana lain yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.
Terhadap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi di luar
wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut.
3. Komposisi Majelis Hakim
Majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi berjumlah ganjil, yakni paling sedikit berjumlah tiga orang hakim dan paling
banyak berjumlah lima orang hakim. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. Adapun komposisi Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam majelis adalah tiga banding dua dan penentuan
mengenai jumlah dan komposisi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana korupsi ditetapkan oleh masing-masing ketua pengadilan atau
Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara
kasus perkasus.
4. Keabsahan Perolehan Alat Bukti
Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum. Hakim menentukan sah
tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan, baik yang diajukan oleh
penuntut umum maupun oleh terdakwa.
5. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di sidang pengadilan diawali dengan
pemeriksaan pendahuluan. Tujuan pemeriksaan pendahuluan adalah pertama, untuk
mengklarifikasi dipenuhinya kelengkapan, kejelasan, dan kecermatan materi surat
dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Kedua, mencegah adanya miscarriage
of justice dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Ketiga, mencegah
stigmatisasi terhadap kinerja penuntut umum dan terhadap majelis hakim.

4
Adapun batas waktu penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada tingkat pertama
adalah paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada tingkat banding batas waktu
penyelesaian perkara paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Pada tingkat kasasi batas waktu penyelesaian
perkara paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Dalam hal putusan pengadilan dimintakan
peninjauan kembali (PK), pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan
diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
6. Kepaniteraan
Untuk mendukung kelancaran tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maka pada setiap Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin
oleh seorang panitera. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab,
susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus pengadilan tindak pidana
korupsi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
7. Pembiayaan
Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibebankan pada anggaran Mahkamah Agung
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
8. Transparansi dan Akuntabilitas
Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai
penyelenggaraan pengadilan tindak pidana korupsi. Selanjutnya kententuan mengenai
hak dan informasi yang bersifat terbuka diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

5
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Demikian Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Semoga Dewan yang terhormat dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat
mengagendakan dan mengintensifkan pembicaraan materi muatan RUU ini dalam masa
sidang DPR saat ini, sehingga sesegera mungkin kita dapat mencapai persetujuan bersama
untuk selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Akhir kata, kami atas nama Presiden mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang
setinggi-tinggi atas perhatian anggota Dewan yang terhormat dan kesabarannya dalam
mendengarkan penyampaian Keterangan Presiden ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
meridhoi segala amal bakti kita dalam mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tertib, adil, makmur, dan sejahtera.
Amin Ya Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
ATAS NAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

Sumber : www.legalitas.org
KETERANGAN PRESIDENTERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Hadirin yang Kami Hormati,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua sehingga pada hari yang
berbahagia ini kita dapat bertemu dalam keadaan sehat wal’afiat guna menunaikan tugas
mulia kenegaraan, yakni membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
Perkenankanlah kami mewakili Presiden dalam kesempatan yang berbahagia ini
menyampaikan Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Penyampaian Keterangan Presiden kepada Dewan yang terhormat merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pemenuhan syarat dalam tahapan pembahasan RUU di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, izinkan kami
menyampaikan Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, yang telah disampaikan oleh Presiden kepada Pimpinan DPR dengan surat
pengantar Nomor R-49/Pres/8/2008 tanggal 11 Agustus 2008.
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Pengajuan RUU ini didasarkan pada keinginan yang kuat dalam merespon dan
memenuhi amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012,016,019/PUU-IV/2006 tanggal
19 Desember 2006, tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi telah memutus
bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan
perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Dalam kurun
waktu yang diberikan selama 3 (tiga) tahun tersebut, Pemerintah berupaya menyusun dan
menyampaikan RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelum berakhirnya batas
waktu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam mempersiapkan RUU, Pemerintah terlebih dahulu mengkaji putusan
Mahkamah Konstitusi dan melakukan penelitian mengenai pembentukan pengadilan tindak
pidana korupsi yang dituangkan dalam Naskah Akademik. Naskah Akademik tersebut
merupakan dasar penyusunan RUU yang telah kami persiapkan sejak setelah putusan
diumumkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan prosedur penyusunan RUU, Naskah
Akademik tersebut telah pula kami sampaikan bersamaan dengan penyampaian RUU kepada
DPR-RI.
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Perkenankan kami menyampaikan beberapa materi pokok yang diatur dalam RUU
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Tempat dan Kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dengan mempertimbangkan segala kemampuan yang ada dan agar penyelenggaraan
pengadilan tidak pidana korupsi dapat berjalan sesuai dengan harapan maka untuk
pertama kali pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk pada pengadilan negeri di
ibukota provinsi. Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, pengadilan
tindak pidana korupsi dibentuk pada setiap kotamadya yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pembentukan
pengadilan tindak pidana korupsi selanjutnya dilakukan secara bertahap dengan
Peraturan Presiden.

3
2. Kewenangan
Pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
termasuk tindak pidana lain yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.
Terhadap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi di luar
wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tersebut.
3. Komposisi Majelis Hakim
Majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi berjumlah ganjil, yakni paling sedikit berjumlah tiga orang hakim dan paling
banyak berjumlah lima orang hakim. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc. Adapun komposisi Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam majelis adalah tiga banding dua dan penentuan
mengenai jumlah dan komposisi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana korupsi ditetapkan oleh masing-masing ketua pengadilan atau
Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara
kasus perkasus.
4. Keabsahan Perolehan Alat Bukti
Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum. Hakim menentukan sah
tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan, baik yang diajukan oleh
penuntut umum maupun oleh terdakwa.
5. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di sidang pengadilan diawali dengan
pemeriksaan pendahuluan. Tujuan pemeriksaan pendahuluan adalah pertama, untuk
mengklarifikasi dipenuhinya kelengkapan, kejelasan, dan kecermatan materi surat
dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum. Kedua, mencegah adanya miscarriage
of justice dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Ketiga, mencegah
stigmatisasi terhadap kinerja penuntut umum dan terhadap majelis hakim.

4
Adapun batas waktu penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada tingkat pertama
adalah paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada tingkat banding batas waktu
penyelesaian perkara paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Pada tingkat kasasi batas waktu penyelesaian
perkara paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Dalam hal putusan pengadilan dimintakan
peninjauan kembali (PK), pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan
diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
6. Kepaniteraan
Untuk mendukung kelancaran tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maka pada setiap Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin
oleh seorang panitera. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab,
susunan organisasi, dan tata kerja kepaniteraan khusus pengadilan tindak pidana
korupsi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
7. Pembiayaan
Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibebankan pada anggaran Mahkamah Agung
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
8. Transparansi dan Akuntabilitas
Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai
penyelenggaraan pengadilan tindak pidana korupsi. Selanjutnya kententuan mengenai
hak dan informasi yang bersifat terbuka diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.

5
Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat,
Demikian Keterangan Presiden terhadap RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Semoga Dewan yang terhormat dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat
mengagendakan dan mengintensifkan pembicaraan materi muatan RUU ini dalam masa
sidang DPR saat ini, sehingga sesegera mungkin kita dapat mencapai persetujuan bersama
untuk selanjutnya disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang.
Akhir kata, kami atas nama Presiden mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang
setinggi-tinggi atas perhatian anggota Dewan yang terhormat dan kesabarannya dalam
mendengarkan penyampaian Keterangan Presiden ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
meridhoi segala amal bakti kita dalam mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tertib, adil, makmur, dan sejahtera.
Amin Ya Rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
ATAS NAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

Jumat, 16 Oktober 2009

Pembahasan RUU Tipikor Jangan Diulur

Desakan pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) kembali menguat menyusul segera berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2004-2009. Berbagai lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi, meminta DPR tidak lagi mengulur-ulur waktu pembahasan dengan berbagai cara dan alasan.

Peneliti Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Wahyudi Jafar, mengatakan, selain mempercepat pembahasan, DPR didesak untuk tidak menghilangkan materi penting RUU Pengadilan Tipikor. "Materi penting yang memberikan nyawa bagi eksisnya Pengadilan Tipikor," kata dia, melalui keterangan resminya, Kamis (6/8).

Materi tersebut, Wahyudi menyebutkan, khususnya terkait dengan komposisi hakim. Dewan, disebutkannya, harus menolak usulan pemerintah tentang komposisi hakim. Usulan pemerintah tersebut, jika perkaranya berasal dari KPK, komposisi hakim ad hoc-nya lebih banyak. Sementara, bila perkaranya berasal dari kejaksaan, komposisi hakim ditentukan oleh ketua pengadilan negeri.

Usulan itu, menurut Wahyudi, justru melahirkan kembali dualisme dalam pemeriksaan Pengadilan Tipikor. "Sehingga, rawan konstitusionalnya," kata dia. Komposisi hakim yang harus diakomodasi dalam RUU Pengadilan Tipikor, Wahyudi menuturkan, jumlah hakim ad hoc harus lebih banyak daripada hakim karier. "Demi menyelamatkan kontinuitas pemberantasan korupsi," kata dia.

Pengaturan penting terkait hakim, Wahyudi menjelaskan, RUU ini juga harus memasukkan norma tentang hakim agung ad hoc untuk perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut untuk memberikan legitimasi eksistensi hakim ad hoc di Mahkamah Agung karena pengaturannya telah dihilangkan dalam UU Mahkamah Agung.

Selain desakan pada DPR, Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi juga mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan tindakan konkret untuk menyelamatkan Pengadilan Tipikor. "Presiden juga harus mengonsolidasikan fraksi partai-partai koalisi pemerintah di DPR.

Sumber: Koran Republika

Menghitung Peluang Perppu Pengadilan Tipikor

Oleh: Zamrony, S.H., M.Kn.

[Penulis adalah Pembantu Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Hukum]

 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 memberikan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor sampai dengan 19 Desember 2009. Jika deadline terlewati, Pengadilan Tipikor terancam bubar dan seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK akan dialihkan ke pengadilan umum. Menurut jadwal, DPR menyisakan dua masa persidangan lagi. Yang pertama berakhir bulan Juli 2009, diselingi masa reses yang bertepatan dengan ajang pemilihan presiden, dan yang kedua akan berakhir September 2009. Namun, pembahasan RUU Pengadilan Tipikor justru ditempatkan pada masa persidangan penutup masa jabatan anggota DPR.

Atas dasar itulah, publik melihat peluang pengesahan RUU itu amat kecil jika melihat kalkulasi waktu yang tersedia. Belum lagi, perdebatan alot terkait komposisi hakim ad hoc dan karir, kedudukan Pengadilan Tipikor, hukum acara, dan sebagainya, masih belum menemukan titik terang.

Problem Solving
Andai RUU Pengadilan Tipikor tidak berhasil disahkan DPR, tiada jalan lain untuk menyelamatkan eksistensi Pengadilan Tipikor selain Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Perppu sebagai produk hukum yang memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU, hanya saja proses pembentukannya berbeda dengan UU. Jika proses pembentukan UU dilakukan bersama oleh Pemerintah dan DPR dalam keadaan normal, tak demikian bagi Perppu yang diterbitkan tanpa pembahasan terlebih dulu dengan DPR mengingat kondisi abnormal (kegentingan memaksa) yang tak dapat ditangguhkan sampai dengan persidangan DPR berikutnya.

Presiden SBY dalam beberapa kesempatan baik sebelum dan selama masa kampanye Pemilu telah berulangkali mengungkapkan kesiapannya untuk menerbitkan Perppu. Namun, itu saja tak cukup bagi publik terutama pasca rencana KPK menghentikan penuntutan. Publik tetap mendesak agar Presiden SBY mempercepat penerbitan Perppu. Desakan ini sesungguhnya kurang tepat. Justru sebaliknya, lecutan semangat bagi anggota DPR lebih urgen dilakukan saat ini daripada mendesak Presiden. Bagi KPK, penuntutan kasus korupsi harus tetap dilakukan dengan mengingat ‘janji’ Presiden SBY.

Penerbitan Perpu saat DPR sedang melakukan pembahasan RUU berpotensi meningkatkan tensi politik relasi Presiden dengan DPR. Penerbitan Perppu dengan kondisi DPR tak berhasil memenuhi janjinya merampungkan UU dapat dibaca sebagai ‘wanprestasi’ DPR, namun sebaliknya, Perppu akan hadir sebagai ‘prestasi’ bagi Presiden. Tatkala tensi politik merangkak ke titik nadir, penolakan pengesahan Perppu menjadi sesuatu yang amat mungkin.

Pemilihan timing penerbitan akan menjadi salah satu faktor penentu lolos tidaknya Perppu menjadi UU. Jika dihitung dari sekarang, ada tiga opsi dimana penerbitan Perppu dapat dieksekusi Presiden, yaitu sampai dengan masa purna bakti DPR (1 Oktober 2009), pasca purna bakti anggota DPR sampai dengan pelantikan Presiden (1 Oktober – 20 Oktober 2009), atau pasca pelantikan Presiden sampai dengan deadline pembentukan UU Pengadilan Tipikor (20 Oktober – 19 Desember 2009).

Opsi pertama, sebagaimana dijelaskan di atas sangat beresiko dilakukan. Namun opsi selebihnya relatif aman mengingat komposisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen lebih solid pasca kemenangan partai demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009. Dengan catatan, SBY kembali memimpin 5 tahun ke depan. Tidaklah berlebihan jika merujuk hasil penetapan pemenang Pilpres oleh KPU, kecuali putusan sengketa hasil Pilpres di MK membatalkan penetapan KPU itu.

Jika opsi kedua dan ketiga dilakukan, yang relatif berbeda hanya persoalan timing penerbitan saja, oleh Presiden 2004-2009 atau 2009-2014.

Bagaimana dengan ihwal kegentingan memaksa? Pengertian ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ tak selalu berhubungan dengan keadaan bahaya, namun cukup bila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak yang membutuhkan pengaturan sederajat dengan UU. Sesungguhnya tak ada parameter penentuan kondisi ‘kegentingan memaksa’. Penjelasan pasal 22 UUD 1945 pra amademen misalnya hanya mengatakan Perppu sebagai noodverordeningsrechts Presiden (hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan memaksa).

Referensi paling mutakhir diintrodusir MK melalui putusan Nomor 003/PUU-III/2005 dalam judicial review Perppu No 1/2004 terkait penambangan di kawasan hutan lindung, yang ditandatangani Presiden Megawati menjelang akhir jabatannya. Saat itu MK menyatakan parameter ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR. Presiden SBY sah-sah saja jika lebih dini (akhir periode 2004-2009) menafsirkan unsur kegentingan memaksa telah terpenuhi. Yang pasti, semakin Pengadilan Tipikor mendekati sakratul maut 19 Desember, unsur kegentingan memaksa semakin mencekat.

Persiapan
Kesiapan Presiden untuk menerbitkan Perppu, wajib dibarengi dengan penyiapan draf Perppu sebagai antisipasi deadlock di DPR. Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Perppu, PP, dan Perpres menyatakan Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa memerintahkan penyusunan Perppu kepada Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi materi yang akan diatur Perppu, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.

Materi Perppu sebaiknya bukan menggunakan draf awal RUU Pengadilan Tipikor versi Pemerintah saja, namun juga mengadopsi hasil pembahasan terakhir RUU dengan DPR serta masukan unsur masyarakat. Semata-mata agar hasilnya dapat maksimal dan materi Perppu bukan hanya cerminan pendapat penuh pemerintah (government centris). Mengingat DPR tidak berwenang turut serta menyusun Perppu yang menjadi hak prerogatif Presiden.

Pasca penerbitan Perppu, dalam persidangan DPR yang berikutnya, Perppu akan dibahas. UU 10/2004 dan Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI mengatur tata cara pembahasan Perppu sama dengan pembahasan UU. Untuk hasil akhirnya, DPR hanya memiliki opsi menolak atau menerima Perppu agar disahkan manjadi UU. DPR tidak memiliki wewenang untuk menerima atau menolak sebagian. Jika diterima, Pengadilan Tipikor selamat. Jika ditolak, Pengadilan Tipikor kiamat. Semoga tidak. (*)

Kamis, 15 Oktober 2009

Konflik Cicak-Buaya Cenderung Personal

INILAH.COM, Jakarta - Konflik yang terjadi antara KPK dengan Polri selama ini dinilai sebagai pertarungan antar lembaga. Padahal yang lebih dominan adalah antar individu.

Pengamat politik dan hukum dari Universitas Nasional, Dedi Irawan mengatakan, masyarakat jangan menggeneralisasi individu dengan institusi dalam melihat 'permasalahan' antara KPK dan Polri. "Jangan sampai menggeneralisasi persoalan individu dengan institusi atau kelembagaan," katanya di Jakarta, Kamis (15/10).

Permasalahan KPK-Polri saat ini, menurut Ketua Jurusan Ilmu Politik UNAS ini, sudah sering disebut di tengah masyarakat sebagai pertarungan antara cicak dan buaya. Padahal, pihak yang terlibat dalam permasalahan antar-institusi penegak hukum tersebut hanyalah sebagian dan bukan keseluruhan personil dari kedua lembaga tersebut.

Karena itu, ia mengingatkan, agar upaya penegakkan hukum dapat terus berjalan secara independen tanpa dipengaruhi oleh sentimen atau opini publik. Dedi juga menyampaikan keinginannya agar ada kerja sama yang lebih erat antara pihak kepolisian dan KPK dalam memberantas korupsi.

Selain itu, ia menjelaskan, seharusnya juga terdapat persetujuan bersama antara kedua institusi tersebut dengan aturan impelementasi yang jelas. Jika tidak ada aturan dan naungan hukum yang jelas, maka bisa saja dalam penerapannya di lapangan terjadi kesalahpahaman antara kedua institusi tersebut seperti saling berebut tersangka kasus korupsi. [*/jib]


Survei: Konflik KPK-Polri Ada Motif


INILAH.COM, Jakarta - KPK dan Polri berusaha menyangkal bahwa penetapan tersangka 2 pimpinan KPK karena ada unsur dendam. Namun berdasarkan survei, hubungan tersebut tak harmonis karena ada motif tertentu.

Hasil survei LSM 'Institute for Strategic and Development Studies' (ISDS) di 6 kota besar di Pulau Jawa menunjukkan, sebagian warga percaya ada motif tertentu di balik konflik KPK-Polri.

"Mereka percaya bahwa konflik atau masalah apapun antara KPK dan Polri, pasti ada pihak-pihak lain yang diuntungkan, baik secara ekonomis maupun politis," kata Kepala Divisi Riset ISDS Ait Muhyidin kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/10).

Ait memaparkan, sebanyak 67,1% responden percaya bahwa konflik KPK-Polri terdapat orang lain atau pihak yang diuntungkan.

Selain itu, ujar dia, mayoritas responden menilai bahwa baik pihak kepolisian maupun pihak KPK sudah bertindak secara profesional. Namun terdapat tumpang tindih kewenangan antara dua institusi penegak hukum tersebut.

Sementara itu, hasil survei lainnya antara lain adalah 87% responden mengetahui terjadi perseteruan antara kepolisian dan KPK, dan 88,8% setuju bahwa semua pejabat negara harus diperlakukan sama di depan hukum.

Sedangkan terdapat pula hasil survei yang menyebutkan bahwa 95% responden setuju agar pihak kepolisian dan KPK sebaiknya meningkatkan kerja sama yang lebih erat lagi ke depan, dalam rangka penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Selain itu, sebanyak 92% responden setuju agar sebaiknya tidak ada pihak lain yang mengeluarkan komentar atau pernyataan yang semakin memperkeruh suasana.

Survei dilakukan terhadap 800 responden melalui wawancara lewat telepon. Responden berdomisili di DKI Jakarta sebanyak 21,3%, Bandung (18,8%), Semarang (18,8%), Surabaya (18,8%), Serang (11,3%), dan Yogya (11,3%). [*/ana]

Ampun, Politisi Tak Jera Korupsi!


Abdul Hadi Djamal
(istimewa)

INILAH.COM, Jakarta � Jika ringkusan KPK ini terbukti bersalah, nekad betul Abdul Hadi Djamal. Di tengah maraknya politisi membangun citra, anggota Komisi V DPR ini justru membusukkan diri sendiri. Inikah bukti politisi bebal dan tak jera korupsi?

Hari-hari ini, para politisi sibuk membangun citra. Tak hanya personal, juga secara kelembagaan. Belum sepekan, misalnya, para pemimpin parpol mendeklarasikan komitmen antikorupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Maka, apa yang terjadi pada anggota Fraksi PAN itu sungguh mengenaskan.

KPK, Senin (2/3) malam pukul 22:15 menciduk anggota parlemen dari Dapil Sulawesi Selatan I itu. Anak buah Sutrisno Bachir tersebut tidak sendirian. Dia ditangkap bersama TU Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan, Darmawati. Keduanya ditangkap di Cassablanca, kawasan Karet, Jl Sudirman, Jakarta Selatan.

Dalam penangkapan tersebut turut diamankan barang bukti US$ 90 ribu dan Rp 54 juta. "Telah ditangkap pula Hontjo Kurniawan, yang mengaku pula telah memberikan uang senilai Rp 2 miliar dalam bentuk dolar AS," kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, M. Jasin kepada INILAH.COM, Selasa (3/3) di Jakarta.

Menurut Jasin, uang serbesar Rp 2 miliar tersebut diberikan melalui Darmawati dalam dua tahap. Pemberian pertama dilakukan Jumat (27/2) yang kemudian berujung pada penangkapan pada Selasa (2/3) malam.

Jasin menjelaskan, kasus ini terkait dengan pengembangan dermaga dan bandara di wilayah Indonesia Timur. "Soal status tersangka masih menunggu sampai ada pernyataan resmi dari KPK," katanya.

Sementara Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, menilai, KPK sampai saat ini belum berani menangani kasus yang melibatkan para politisi. Menurut dia, dalam penanganan kasus korupsi selalu ada eliminasi tersangka secara minimal. "Seperti dalam kasus Rokhmin Dahuri, Bulyan Royan, Al Amin Nasution, kelihatan KPK mengeliminasi terhadap pihak yang terlanjur terekspos ke publik," katanya.

Ia mencontohkan dalam kasus aliran dana BI yang menyeret sebanyak 50-an anggota DPR periode 1999-2004. Menurut dia, jika dalam satu kasus melibatkan sekitar 50 orang, dalam lima kasus korupsi DPR bisa saja separuh anggota DPR dijadikan tersangka. "Mungkin dengan langkah ini, jauh lebih efektif daripada membuat deklrasi seremonial antikorupsi partai politik," kata Teten.

Mendapat tuduhan KPK tidak berani melakukan pembongkaran kasus korupsi yang melibatkan politisi Senayan, Jasin membantahnya dengan tegas. Menurut dia, pihak luar harusnya berimbang dalam menilai kinerja KPK. Menurut dia penangkapan pejabat negara hingga besan Presiden SBY Aulia Pohan sebagai bukti KPK tidak main-main dalam pemberantasan korupsi. "Semestinya diapresiasi," cetusnya.

Sementara Dirjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Sunaryo menegaskan, pihaknya sampai saat ini belum bisa memastikan apakah Darmawati terlibat atau tidak dalam penangkapan KPK. Menurut dia, kini pihaknya sedang melakukan konfirmasi.

"Belum ada kepastian siapa ditangkap. Kami tidak ingin melanggar asas praduga tak bersalah," katanya.

Kendati demikian, mantan Perwira Tinggi AL tersebut mengaku penangkapan itu agak janggal. Apalagi terkait proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesia Timur. "Darmawati itu di Hubla, masak ngurus bandara. Ia itu di distrik navigasi di Tanjung Priok," katanya.

Apakah Ditjen Hubla sedang mengerjakan proyek dermaga di Indonesia Timur? Sunaryo menegaskan proyek dermaga setiap tahun banyak. "Kalau pembangunan dermaga itu di luar distrik navigasi, yang ada kapal navigasi dan pelabuhan, meski dia tidak mustahil terlibat," pungkasnya. [I4]