Rabu, 18 November 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIADENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan keadilan
merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;
b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak
sesuai lagi degan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat:
1. Pasal 20, pasal 21, dan pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3209;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4358 );
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Jabatan Fungsionla jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang
karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.
Pasal 4
(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
(2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
kabupaten/kota.
BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Sunanan Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Pasal 6
(1) Susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.
Pasal 7
(1) Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan negeri.
(2) Cabang Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.
Bagian Kedua
J a k s a
Pasal 8
(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta
bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan
dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat profesinya.
(5) Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak
pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Pasal 9
(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah paling rendah sarjana hukum;
e. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. pegawai negeri sipil.
(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
Jaksa Agung.
Pasal 10
(1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di
hadapan Jaksa Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan,
serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh,
seksama, obyektif, jujur, berani, professional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur
tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang
diamanatkan undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu
apapun kepada siapapun juga.
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.
Pasal 11
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi.
a. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta.
b. advokad
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 12
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
d. meninggal dunia;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas.
Pasal 13
(1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaanya;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
e. melakukan perbuatan tercela.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Jaksa,
serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 14
(1) Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri sipil.
(2) Sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa yang
bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(3) Setelah seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.
Pasal 15
(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan
sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan,
jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan
hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak fungsional jaksa yang terkena pemberhentian diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Muda
Pasal 18
(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.
(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.
(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.
Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan;
b. Advokat;
c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;
d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;
e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundangundangan;
g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 23
(1) Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
(3) Yang dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang dipersamakan
dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karier.
Pasal 24
(1) Jaksa Agung Muda dingkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang dipersamakan dengan jabatan
kepala kejaksaan tinggi.
(3) Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian
tertentu.
(4) Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 25
(1) Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat
menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat seabagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk sementara dari jabatnnya sebelum
diambil tindakan pemberhentian tersebut.
(2) Ketentuan tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku pula
terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.
Bagian Keempat
Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi,
Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Pasal 26
(1) Kepala kejaksaan tinggi pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur
pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.
Pasal 27
(1) Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
(3) Kepala cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah
hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya.
(4) Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.
Pasal 28
Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan
negeri, dan kepala cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
lebih lanjut oleh Jaksa Agung.
Bagian Kelima
Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli
Pasal 29
(1) Pada kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan fungsional jaksa, yang
diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut perundang-undangan.
(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli atau tenaga
tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
(3) Selain tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat tenaga ahli
bukan dari pegawai negeri.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Pasal 31
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat
perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri
Pasal 32
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenag lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 33
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya
Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Bagian Kedua
Khusus
Pasal 35
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas
dan wewenang kejaksaan;
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata,
dan tata usaha negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara pidana;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan
dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala
kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan
di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter,
dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan
kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.
Pasal 37
(1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurari.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 38
Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan
dan kewenangannya diatur oleh Presiden.
Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam
Udang-Udang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh
sebagai provinsi Nanghroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kejasaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan undang-
Undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tdd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
SEKERTARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 67

Kamis, 05 November 2009

Polisi Ikut Gugat Wewenang Penyidikan Ganda Kejaksaan

Timbul kesan seolah-olah hanya Kejaksaan yang mampu menyidik perkara pidana khusus.

Pemohon uji materi Pasal 30 Undang Undang No 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Subarda Midjaja, seakan mendapat angin segar. Permohonannya yang menggugat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan sekaligus, ternyata didukung Kepolisian. “Dengan kewenangan ganda tersebut, bisa terjadi abuse of power,” ujar Kombes Pol RM Panggabean dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/1).

Kabid Penerapan Hukum dan UU dalam Divisi Pembinaan Hukum Polri ini menilai aturan tersebut justru mengambil kewenangan kepolisian dalam menyidik kasus tindak pidana khusus. “Sehingga menimbulkan kesan, hanya kejaksaan yang mampu menyidik kasus pidana khusus atau korupsi. Polisi dinilai tak mampu,” ujarnya.

Aturan kewenangan penyidikan oleh kejaksaan, lanjut Panggabean, memang tak serta merta menghapus kewenangan kepolisian dalam menyidik tindak pidana khusus. “Tapi selalu mentok di Kejaksaan. Seakan ada sentimen dari penuntut umum kepada kepolisian,” ujarnya.

Panggabean mengungkapkan perdebatan ini memang sudah sering terjadi. Bahkan, lanjutnya, banyak praktisi hukum yang sempat menolaknya. OC Kaligis, ujar Panggabean, juga pernah mengkritik. Berdasarkan catatan hukumonline, dalam sebuah bukunya, pengacara kondang tersebut pernah curhat mengenai kasus yang ditanganinya. “Yang menyidik Ali Mukartono, lalu yang menjadi penuntut umum juga Ali Mukartono,” tulis OC Kaligis.

Apa yang disampaikan Panggabean mestinya bukan pandangan pribadi. Sebab, kehadirannya di MK adalah mewakili institusi kepolisian. Kepolisian diundang memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam perkara permohonan Subarda. Sikap kepolisian tentu menjadi amunisi bagi Subarda. Ketika ditanya oleh Ketua Majelis Konstitusi Jimly Asshidiqqie, Panggabean menjawab dengan tegas. “Kami setuju dengan pemohon,” tuturnya.

Meski begitu, ia menegaskan sikap ini bukan terkait masalah persaingan antar institusi. “Ini soal sistem yang bermasalah,” tambahnya.

Alasan memperbaiki sistem yang bermasalah juga digunakan pemohon dengan membawa perkara ini ke MK. Menurut kuasa hukum pemohon, Ahmad Bay Lubis, bila hanya mempermasalahkan penahanan kliennya dalam tahap penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan, lembaga praperadilan memang bisa digunakan. “Praperadilan sudah diajukan, tapi dicabut kembali,” ujarnya.

Ahmad Bay menilai lembaga praperadilan hanya menyelesaikan persoalan yang dialami kliennya saja. Sedangkan yang ia lakukan saat ini, membawa ke MK, bertujuan untuk menyelesaikan persoalan secara menyeluruh. “Agar sistem hukum pidana Indonesia lebih baik lagi,” ujarnya.

Setback ke HIR

Hakim Konstitusi Achmad Roestandi coba menelaah kewenangan ganda kejaksaan. Menurut dia, campur aduk kewenangan antar penyidik dan penuntut umum dahulu sudah terjadi di HIR. Lalu, lahirlah KUHAP yang diklaim sebagai karya agung bangsa Indonesia. “Dalam KUHAP jelas. Polisi menyidik, jaksa menuntut, dan hakim memutus,” ujarnya.

Dengan adanya kewenangan ganda ini, masih menurut Roestandi, seakan sistem hukum Indonesia kembali ke masa lalu. “Ini seperti setback ke HIR,” ujarnya. Karenanya, ia bertanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk UU. “Latar belakangnya seperti apa?” tanyanya.

Anggota Komisi III DPR Akil Mochtar menilai perdebatan ini memang sempat terjadi di Senayan ketika pembahasan Rancangan UU Kejaksaan. Akil termasuk yang menolak kewenangan ganda Kejaksaan. “Dalam risalah persidangan jelas, perdebatan seputar ini yang paling panjang,” ujarnya.

Namun, lanjut Akil, akhirnya disepakati kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan itu masuk ke dalam UU. Bargaining yang diberikan adalah dibentuknya Komisi Kejaksaan. Dengan dibentuknya Komisi Kejaksaan, kekhawatiran tak adanya checks and balances bisa dihilangkan. “Komisi Kejaksaan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan,” tambahnya.

Selain itu, Akil juga mengatakan sebelum adanya UU Kejaksaan, sudah banyak UU yang mengatur penyidikan oleh lembaga non kepolisian. “Misalnya, UU No 26 Tahun 2000 tentang HAM,” ujarnya memberi contoh. Dalam UU tersebut, memang kewenangan penyidikan dipegang oleh Jaksa Agung.

Koordinator penyidik

Pada siding yang sama, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mencoba menafsirkan KUHAP bahwa posisi polisi adalah sebagai koordinator penyidik. “Agak aneh bila kejaksaan melakukan penyidikan tanpa komunikasi dan koordinasi dengan polisi,” ujarnya. Ia menganalogikan dengan posisi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). “Masak penyidik perikanan ujug-ujug masuk pengadilan,” tambahnya.

Hakim I Dewa Gede Palguna mengingatkan ketentuan KUHAP yang memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga di luar kepolisian (PPNS) hanya bersifat transisi. Ia mengutip ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal itu menyatakan Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pertarungan Wewenang Polisi dan Jaksa dalam Menyidik Perkara Korupsi

Kejaksaan dan Kepolisian sama-sama mengaku ingin memperbaiki sistem hukum dan melepas ego-sektoral. Namun, nuansa untuk memperebutkan kewenangan penyidikan perkara basah, tindak pidana korupsi, begitu terasa.

Nuraini dan suaminya, Subarda Midjaja mungkin tak pernah menyangka bahwa permohonan uji materinya terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) akan memantik perdebatan sengit antara dua lembaga penegak hukum: Kejaksaan dan Kepolisian. Perdebatan kedua institusi ini bermuara pada kewenangan menyidik tindak pidana khusus, yaitu korupsi. Konon, usia perdebatan ini pun cukup tua, sudah dimulai lebih dari 20 tahun lalu, sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diundangkan.

Kini, puluhan tahun berjalan, perdebatan kembali mencuat. Cuma, perdebatan tak lagi diam-diam karena harus diungkapkan secara terbuka dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Mahkamah, Jimly Asshiddiqie, bahkan sempat mengucapkan terima kasih kepada si pemohon Subarda dan isteri yang telah ‘berjasa’ membawa perseteruan laten kedua lembaga ke ranah publik. “Kasus pemohon ini telah menjadi entry point,” ujarnya dalam persidangan di MK, Selasa (12/2) lalu.

Ya, entry point dari pembangunan sistem hukum Indonesia yang sering dinlai tumpang tindih. Lantas, apakah setelah ada pintu masuk, Kepolisian dan Kejaksaan akan benar-benar ingin memperbaiki sistem hukum atau masih tetap mengedepankan ego-sektoral semata? Perseteruan itu pula yang ditamsilkan Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Airlangga, Prof. J.E. Sahetapy. “Seperti dua kucing yang memperebutkan dendeng,” katanya.

Sesuai kewenangan yang diberikan KUHAP, polisi merasa berhak menyidik perkara korupsi. Kejaksaan pun merasa punya kewenangan serupa dengan mengacu pada pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Menurut aturan ini, jaksa berwenang menyidik tindak pidana tertentu. Tentu saja termasuk tindak pidana korupsi. Kejaksaan berdalih tindak pidana korupsi adalah extra-ordinary crime sehingga perlu penanganan khusus.

Tindak pidana tertentu sebenarnya sudah semakin beragam. Tetapi kejaksaan lebih banyak menangani perkara korupsi. Pengacara senior OC Kaligis menyindir bahwa Kejaksaan hanya menyidik perkara basah yang menggiurkan saja. Kaligis pernah menyinggung masalah ini dalam tulisan ilmiah di Pascasarjana Universitas Padjadjaran bandung, yang kemudian dibukukan menjadi “Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi”.

Kritik serupa datang dari mantan Kapolri, Awaloedin Djamin. “Jaksa enak benar, boleh menyidik tindak pidana ekonomi saja. Perkara gorok menggorok dan rampok diserahkan ke polisi,” tandasnya.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Andi Hamzah membandingkan antara aparat penegak hukum di Indonesia dengan di Belanda. Di sana, lanjut Andi, semakin banyak beban namun gaji kurang diterima dengan senang hati. “Di Indonesia, kurangnya gaji asal kewenangannya banyak, itu yang dicari.” ungkapnya. “Itu terjadi pada hari ini,” sindirnya terkait rebutan kewenangan menyidik tindak pidana korupsi antara Kejaksaan dengan Kepolisian.

Separation atau distribution of power?

Advokat Ahmad Bay Lubis menganggap permohonan judicial review yang diajukan kliennya bukan semata-mata menguji undang-undang terhadap UUD. Ada dimensi lain yang harus diperjelas demi kepentingan penegakan hukum, yaitu dimensi persaingan dua lembaga penegak hukum. “Ada dimensi sengketa kewenangan antar lembaga negara,” ujarnya.

Sinyalemen Ahmad Bay ditepis Kepolisian dan Kejaksaan. “Ini bukan terkait masalah persaingan antar institusi. Ini soal sistem yang bermasalah,” jelas Kombes Pol RM Panggabean, pada sidang sebelumnya. Panggabean juga menegaskan bahwa posisi Kepolisian berada di pihak pemohon. “Aneh. Seharusnya Kepolisian adalah bagian dari pemerintah yang mempertahankan berlakunya UU, bukan justru ikut menggugat,” sindir Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, dalam siding Selasa (12/1) lalu.

Dari pandangan RM Panggabean dan Wisnu Subroto saja kuat indikasi adanya perbedaan sikap kedua lembaga. Perbedaan ini bisa jadi dimulai dari prinsip yang berlaku pada KUHAP, yang dinilai sebagai karya agung bangsa Indonesia. Apakah KUHAP menganut prinsip separation of power (pemisahan kekuasaan) atau distribution of power (pembagian kekuasaan)?

Pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, beberapa waktu lalu, yang menegaskan tugas polisi menyidik, jaksa menuntut, dan hakim memutus merupakan pendekatan menggunakan separation of power, pemisahan kekuasaan. Artinya, masing-masing instansi sudah punya tugas sendiri yang saling berlanjut: dari kepolisian perkara berlanjut ke jaksa, dan bermuara di meja hakim. Namun, Kejaksaan punya argumentasi teoritis. “Saat ini, trias politica (separation of power) sudah tidak dianut lagi,” bantah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso.

Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Aji justru menilai saat ini Indonesia menganut pola distribution of power. Sehingga tak ada lagi pengkotak-kotakan kewenangan. Penegak hukum saat ini harus saling mengisi dalam sistem peradilan yang terintegrasi. “Makanya, kejaksaan diberi kewenangan untuk menyidik,” ujarnya.

Kejaksaan mengamini pendapat Indrianto. “Sebagai penuntut umum, sejak awal jaksa harus tahu validitas alat bukti sehingga dapat mendeteksi permasalahan di dalam persidangan,” kata Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Kapusdiklat) Kejaksaan Marwan Effendy.

Argumentasi Marwan dinilai lemah. Kepala Divisi Pembinaan Hukum Mabes Polri Arianto Sutadi berpendapat kalau memang jaksa ingin mendeteksi sejak awal, tidak harus ikut menyidik. Pola penyidikan perkara pidana umum bisa ditiru. Setiap memulai penyidikan, polisi selalu menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada jaksa. Jadi, sejak awal jaksa sudah bisa mengantisipasi tanpa harus ikut-ikutan menyidik. “Kalau polisi akan menyidik, maka SPDP diberikan ke jaksa,” ujarnya.

Pasal 284 KUHAP

Sahdan, dua puluh tujuh tahun silam, ketika masyarakat hukum Indonesia merayakan kelahiran KUHAP, ternyata masih ada beberapa ganjalan dalam hati para penegak hukum. Salah satu ganjalan itu adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal itu menyatakan: “Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Mantan Kapolri Awaloeddin Djamin menjelaskan maksud pasal ini adalah jaksa hanya boleh menyidik korupsi selama dua tahun sejak KUHAP diundangkan. “KUHAP diundangkan tahun 1981. Jadi tahun 1983 harusnya sudah tidak berlaku lagi,” ujarnya.

Namun, kala itu, dari pihak jaksa menilai pasal tersebut tak otomatis gugur setelah dua tahun, sebelum ada undang-undang lain yang mencabutnya. Awaloeddin tetap keukeuh dengan pendapatnya. Ia berpendapat dengan berlakunya UU Kejaksaan yang membolehkan jaksa menyidik, seakan-akan deadline dua tahun itu ditambah kembali.

OC Kaligis menilai ada beberapa pasal dalam KUHAP terkait checks and balances antara penyidik dengan penuntut umum terkait kewenangan menyidik oleh jaksa. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dalam bukunya, OC Kaligis memang sempat mengungkapkan kasus yang penyidik dan penuntut umumnya adalah orang yang sama.

Dalam persidangan, OC Kaligis mengungkapkan kasus yang lebih dahsyat lagi. “Saksi pelapor, penyidik, serta penuntut umumnya orang yang sama. Yaitu Urip Trigunawan,” jelasnya. Bayangkan, lanjutnya, Urip melaporkan kepada penyidik yang merupakan posisinya juga. Lalu, Urip si penyidik meneruskan perkara ke Urip si penuntut umum. Lalu, Urip si penuntut umum memanggil Urip si saksi pelapor.

Tabel

Pasal dalam KUHAP yang mati suri bila jaksa bisa menyidik

Pasal 138

(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Pasal 139

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

Hukum internasional

Sementara itu, dari sudut pandang hukum internasional, Kejaksaan mendapat 'dukungan' dari pejabat Departemen Luar Negeri (Deplu) Arif Havas Oegroseno. Menurutnya, kewenangan jaksa dalam menyidik sudah dikenal dalam dunia internasional. “Dalam permohonannya pemohon kan mengklaim di dunia internasional, penyidikan itu adalah domain kepolisian. Kenyataannya tak seperti itu,” ungkapnya.

Dalam UN Guidelines on the Role of Prosecutors, disepakati secara aklamasi oleh anggota PBB termasuk Indonesia, jaksa juga berwenang untuk menyidik. “Dalam butir 11, peran jaksa bukan hanya menuntut, tapi juga investigasi dan supervisi,” jelasnya.

Beginilah bunyi ketentuan dalam pedoman peranan jaksa yang sudah disepakati Negara-negara anggota PBB itu. ‘Prosecutors shall perform an active role in criminal procee, including institution of prosecution and, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of theses investigations, supervision of the execution of court decisions and the exercise of other functions as representatives of the public interest’.

Arief Havas justru khawatir bila penyidikan hanya menjadi domain kepolisian, sistem hukum Indonesia akan bertentangan dengan guidelines PBB tadi.Di situ disebut, betul polisi punya kewenangan menyidik, tapi jaksa juga bisa,” katanya.

Di negara lain, memang kewenangan jaksa dalam menyidik lazim ditemukan. Andi Hamzah menguraikan KUHAP beberapa negara yang mengatur hal serupa. Di antaranya adalah Amerika Serikat, Belanda, Rusia, dan Georgia. “Hampir seluruh negara di Uni Eropa, jaksa bisa menyidik. Minimal bisa supervisi,” tambahnya.

Pandangan Andi Hamzah dikritik pihak Kepolisian. Prakek di lapangan tak selalu sama dengan apa yang tertulis di buku-buku referensi yang dibaca Prof. Andi Hamzah. Menurut Irjen Pol. Arianto Sutadi, komparasi dengan negara lain tidak terlalu relevan. “Jangan hanya mengadopsi,” tambahnya.

Awaloeddin Djamin pun bersuara senada. “Orang Amerika Serikat saja minta jangan meniru kepolisian AS, masak kita tetap mau membandingkan,” ujar pria yang tesisnya mengenai Sistem Kepolisian Amerika Serikat ini.

Selain kritik terhadap pendapat Andi Hamzah, keterangan Arief Havas pun dibantah oleh OC Kaligis. Menurut advokat senior itu, pembatasan kewenangan jaksa dalam menyidik perkara korupsi tidak perlu khawatir akan menabrak hukum internasional. “Hukum internasional kan juga mengakui adanya hukum nasional masing-masing negara,” ujarnya.

Kaligis menambahkan PBB sudah mengatur jika ada konfilk antara hukum internasional dgn hukum nasional, maka hukum internasional harus mengalah. Arief Havas balik menyerang bahwa Kaligis bukan ahli hukum internasional.

Lalu, apabila penyidikan merupakan domain kepolisian, bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berwenang menyelidik, menyidik dan menuntut. Menurut Awaloeddin, KPK dengan Kejaksaan berbeda sama sekali. Meski KPK mempunyai tiga kewenangan itu, prakteknya yang menyidik tetap saja dari unsur kepolisian.

Perdebatan-perdebatan ilmiah tampaknya akan terus mencuat dari kasus ini. Karena itu, menarik untuk ditunggu bagaimana kelak MK memutusnya. “Masalah yang lebih dua puluh tahun terkatung-katung, saya harap bisa selesai di sini,” harap Awaloeddin. Mudah-mudahan, Pak!


Rabu, 21 Oktober 2009

Pelantikan Menteri Kamis Pukul 13.30
Ada 34 menteri yang akan dilantik dan tiga pejabat tinggi negara lainnya.


(ANTARA/Widodo S. Jusuf)

VIVAnews - Jika tidak ada aral melintang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melantik para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II pada pukul 13.30 WIB, Kamis 22 Oktober 2009.

Sebanyak 34 menteri dan tiga pejabat diumumkan SBY tepat pukul 22.00 WIB, Rabu 21 Oktober 2009 malam ini.

Berikut nama-nama menteri yang akan dilantik besok:

1. Marsekal TNI Purn Djoko Suyanto, Menko Polhukam
2. Hatta Rajasa, Menko Perekonomian
3. Agung Laksono, Menko Kesra
4. Sudi Silalahi, Mensesneg
5. Gamawan Fauzi, Mendagri
6. Marty Natalegawa, Menlu
7. Purnomo Yusgiantoro, Menhan
8. Patrialis Akbar, Menkum HAM
9. Sri Mulyani Indrawati, Menkeu
10. Darwin Saleh, Menteri ESDM
11. MS Hidayat, Menperin
12. Mari Elka Pangestu, Mendag
13. Suswono, Menteri Pertanian
14. Zulkifli Hasan, Menhut
15. Freddy Numberi, Menhub
16. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan
17. Muhaimin Iskandar, Menakertrans
18. Djoko Kirmanto, Menteri PU
19. Endang Rahayu Sedyaningsih, Menkes
20. Muhammad Nuh, Mendiknas
21. Salim Segaf Al Jufri, Mensos
22. Suryadharma Ali, Menag
23. Jero Wacik, Menbudpar
24. Tifatul Sembiring, Menkominfo
25. Suharna Surapranata, Menristek
26. Syarief Hasan, Menkop UKM
27. Gusti Muhammad Hatta, Menteri LH
28. Linda Amalia Sari, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
29. EE Mangindaan, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi
30. Helmy Faishal, Menteri PDT
31. Armida Alisjahbana, Menneg PPN/Kepala Bappenas
32. Musfata Abubakar, Meneg BUMN
33. Suharso Manoarfa, Menpera
34. Andi Mallarangeng, Menpora

Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan
Sutanto, Kepala BIN
Gira Wirjawan, Kepala BKPM

Minggu, 18 Oktober 2009

Skenario KPK Tanpa Pengadilan Tipikor

Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah Praktisi dan Konsultan Hukum]

 Sistem Peradilan Pidana Khusus.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi; supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6 huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.

Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No 20/2001).

Tanpa Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur “dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur “dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan” menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum (rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain (kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan Tipikor (kemanfaatan hukum).

Jika tenggat waktu tiga tahun telah habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus, mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal hitungan bulan.

Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada KPK atau tidak.

Skenario Alternatif.
Jika kita andaikan sikap pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945). Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law.

Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan Batasannya

Oleh: Paustinus Siburian, SH., MH.
[Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual]

 ABSTRAK
Barang siapa yang, setelah membaca KUHAP, berkesimpulan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK. Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK, yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.

Dalam tulisan ini disarankan agar dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

1. Pendahuluan
Pertanyaan yang terus menerus diajukan sejak tahun 1996 adalah apakah jaksa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang tetap. Pertanyaan ini muncul karena pada tahun 1996, untuk pertama kalinya, jaksa mengajukan permohonan PK dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu. Sejak itu Jaksa secara terus menerus mengajukan PK. Tidak dalam semua kasus yang diajukan jaksa memenangkan PK. Mahkamah Agung (MA) bersikap mendua mengenai hal ini. Ada majelis MA yang menyatakan jaksa tidak berhak mengajukan PK, ada yang menyatakan jaksa dapat mengajukan PK.

Dalam putusan PK dimana MA menerima permintaan PK dari jaksa, MA menyatakan menciptakan hukum karena KUHAP tidak mengaturnya. Dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dikutip dalam Negara v Pollycarpus (PUTUSAN No. 109 PK/Pid/2007) , MA misalnya menyatakan: “Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.”

Dalam hal MA tidak dapat menerima permohonan jaksa, MA menyatakan bahwa MA tidak berwenang memutuskan mengenai PK. Dalam Negara v H. MULYAR bin SAMSI (Putusan MA No84PK/Pid/2006 Tahun 2006), MA menyatakan bahwa PK Jaksa tidak dapat diterima dengan alasan:
Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung;

Bahwa ketentuan tersebut telah mengatur secara tegas dan limitative bahwa yang dapat mengajukan peninjauankembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Hal ini berarti bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali.

Dengan adanya ketentuan yang tegas dan limitatif tersebut, tidak diperlukan lagi ketentuan khusus, yang mengatur bahwa yang bukan Terpidana atau ahli warisnya tidak dapat mengajukan peninjauankembali;

Bahwa “due proses of law” tersebut berfungsi sebagai pembatasan kekuasaan Negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat, dan bersifat normatif, sehingga tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi, karena akan melanggar keadilan dan kepastian hukum ;

Menimbang, berdasarkan hal-hal tersebut disimpulkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan peninjauankembali atas putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya apa yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan kesalahan dalam penerapan hukum acara, sehingga permohonan peninjauan kembali yang dimajukan oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak dapat diterima;

Pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh dua majelis pada MA tentu membingungkan, yang mana yang harus diikuti. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MA, sebagaimana pertimbangan-pertimbangan hukum yang diajukan di atas menunjukkan, ternyata tidak satu. Putusan Majelis yang satu belum tentu diikuti oleh Majelis yang lain.

Tulisan ini akan membahas mengenai dasar hukum dari jaksa dalam mengajukan PK dan setelah menemukan dasar hukumnya maka akan dibahas mengenai batasan-batasan dalam mengajukan PK sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam membahas mengenai PK oleh jaksa ini, saya hanya menggunakan bahan hukum primer, yaitu undang-undang dan Putusan-putusan MA. Putusan MA yang saya gunakan dalam tulisan ini dapat diakses pada situs web dari Mahkamah Agung. Alasan tidak menggunakan bahan sekunder adalah karena dalam pertimbangan hukumnya MA membuat rujukan pada bahan hukum sekunder.

2. Tinjauan Atas Pasal 263 KUHAP
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana atau ada pemidanaan.

Dikecualikan dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal ditempatkan dalam ayat tersebut.

Kalau kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa, berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.

Bahwa jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3) tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya “pemidanaan”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat (1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang memang tidak ada.

MA dalam putusan PK dalam Negara v Pollycarpus telah keliru ketika menyatakan:

2. Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu:

a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ;

b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali;

Menyangkut butir 2.a dari pertimbangan MA tersebut, MA jelas keliru karena ketentuan Pasal 263 ayat (1) itu adalah untuk Terpidana atau Ahli warisnya. Logika MA juga keliru ketika menyatakan “…….sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging”, karena memang tidak ada terpidana dalam putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Sedangkan butir 2.b dari pertimbangan tersebut kekeliruan MA dalam menafsirkannya lebih parah. MA menyatakan “…………..tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan,…..”. Sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam konteks Pasal 263 ayat (3) tidak ada “terpidana”, karena kondisinya adalah “…tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.

Sebenarnya dalam putusan dalam Negara v Muchtar Pakpahan, sebagaimana dirujuk oleh MA dalam Negara v Pollycarpus, MA sudah nyaris benar ketika menyatakan:

3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;

Namun MA melihat Pasal 263 ayat (3) KUHAP itu ditujukan kepada jaksa oleh karena JPU adalah “pihak yang berkepentingan”. Persoalannya dalam Pasal 263 ayat (3) bukan soal siapa yang “paling berkepentingan” tetapi Pasal 263 ayat (3) itu pada dirinya memang ditujukan untuk jaksa. Dalam perkara pidana hanya ada dua pihak yang berhadap-hadapan di depan hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Terdakwa yang dinyatakan bersalah dan ada pemidanaan adalah Terpidana. Dengan dinyatakan “paling berkepentingan” seolah-olah ada pihak lain yang berkepentingan dengan kondisi yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (3) tersebut.

Lagipula, secara logis, jika KUHAP hanya mengatur PK oleh Terpidana atau ahli warisnya, untuk apa lagi dibuat ketentuan Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (1) sudah cukup untuk menampung keperluan terpidana atau ahli warisnya.

Dengan demikian adalah merupakan kesalahan membaca undang-undang jika ada yang menyatakan bahwa KUHAP tidak mengatur mengenai hak atau wewenang dari jaksa untuk mengajukan PK. Sebagaimana sudah saya tuliskan di atas, KUHAP memang memberikan Hak bagi jaksa untuk mengajukan PK, sekalipun tidak secara nyata disebutkan kata “jaksa penuntut umum”.

3. Putusan Bebas dan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Dalam Pasal 263 ayat (1) kedua istilah hukum tersebut muncul dalam rumusan “…..,, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,…..”. Dalam Pasal 263 ayat (3) kedua istilah hukum itu tidak muncul. Kata-kata yang muncul adalah “……………………apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Apakah Putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum termasuk dalam apa yang disebut dalam Pasal 263 ayat (3) “…..tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”?

Dalam kedua macam putusan, yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak ada pemidanaan. Dengan demikian jika dalam putusan bebas hakim menyatakan suatu perbuatan yang didakwakan terbukti maka putusan semacam itu dapat diajukan PK. Demikian juga halnya dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi ada alasan-alasan tertentu yang membuat hakim tidak menjatuhkan pidana, maka jaksa dapat mengajukan PK.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHAP tidak hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan peninjauan kembali tetapi juga jaksa. Tentu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali adalah berbeda antara apa yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dengan yang diajukan oleh jaksa.

4. Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya.
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3) sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.

Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3) seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) akan berlaku bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3).

Dalam Negara v Pollycarpus misalnya, jaksa mengajukan novum. Jaksa membolakbalik ketentuan dalam Pasal 263 ayat (2) butir a. Malangnya, MA dalam PK malah menerima novum yang diajukan oleh jaksa tersebut. Dalam Negara v Pollycarpus, Majelis PK MA menyatakan:

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukannya peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”

Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal 263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA.

Ini tentu aneh mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.

Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.

5. Pembatasan
Sesuai dengan uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
1. Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
2. dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti;

Pengajuan PK oleh Jaksa selama ini tentulah melanggar KUHAP. Maka putusan PK MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, dan Negara v Pollycarpus dan lain-lain merupakan kecelakaan atau bahkan dosa-dosa hukum MA terhadap korban-korban PK jaksa dalam kasaus-kasus tersebut.

6. Penutup
Sesuai dengan uraian-uraian yang disebutkan di atas maka sebagai kesimpulan penutup adalah bahwa menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti dengan suatu pemidanaan.

Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.

MA, Jaksa Agung, dan PERADI, sebagai organisasi yang didirikan dan berfungsi mengemban amanat UU Advokat, harus bersama-sama mencari sarana hukum yang mungkin untuk membebaskan mereka yang kemudian dipidana setelah sebelumnya menurut putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak dipidana. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.

Law Offices of Paustinus Siburian
Kantor Bintaro JL. Cucur Timur III Blok A3 No 20 Bintaro Jaya Sektor 4 Tangerang 15225
Phone : 62 21 7363383, 62 21 70845062
Fax : 62 21 7363383
info@ipaust.co.id
Website: http://www.ipaust.co.id