Yusuf Yazid (Dok) 2010-06-10 17:33:
Mimpi atau Nyata: “Proyek” Rp15 Miliar per-Dapil
Politikindonesia - Setelah terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Politik Pemerintah, lahir sebuah tema politik anggaran, yakni alokasi dana sebesar Rp 15 miliar untuk setiap Daerah Pemilihan (Dapil) anggota DPR RI agar dimasukkan pada APBN 2011.Usulan yang digadang kuat oleh Fraksi Partai Golkar di Parlemen, bukan hanya melahirkan suara penolakan. Tapi juga ada dukungan. Bahkan ada yang bermain dalam wilayah abu-abu.
Di ruang publik, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolaknya. Begitu juga Gerindra dan PAN. PDIP memberikan catatan khusus, utamanya soal teknis bila hal itu direalisasi, sama seperti PPP dan PKB. Dan Partai Demokrat, juga terbelah. Ada yang mendukung, seperti anggota Komisi XI, Achsanul Qosasih, sementara rekannya separtai yang menolak adalah Ketua DPR RI Marzuki Alie.
Yang menarik, Golkar meng-klaim bahwa anggota Setgab sudah setuju dengan gagasan ini. Namun, pemerintah sendiri sudah memberi isyarat menolak kehendak tersebut. Jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Wacana “proyek” Rp 15 miliar per-Dapil ini, secara terang terungkap melalui Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Setya Novanto. “Partai-partai dalam Setgab Koalisi sudah sepakat,” katanya.
"Soal anggaran Rp15 miliar itu, kita sudah rapat Setgab tadi malam (Kamis malam 03/06). Hasilnya menyetujui semua usulan tersebut. Namanya, dana alokasi program dan pemerataan daerah pemilihan," ungkap Setya Novanto.
Novanto memang begitu meyakinkan menjelaskan soal “proyek” Rp15 miliar ini. Selian menyatakan Setgab Koalisi sudah sepakat, Bendahara Umum DPP Golkar ini juga memperkuat landasan legal argumentasinya.
Landasan program yang dimaksud Novanto adalah pasal 15 ayat 3 dan 5 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal itu disebutkan, DPR dapat mengusulkan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam UU tentang APBN.
Menurut Golkar, pengalokasian dana anggaran itu sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota DPR terpilih pada Dapilnya. Soal bagaimana mekanisme penyalurannya, akan diurus oleh Pemda dengan persetujuan DPR. Yang mengusulkan Pemda kepada anggota DPR, lalu anggota DPR menyerahkan ke Badan Anggaran, setelah itu dirapatkan dengan pemerintah. Setelah disetujui, pengalokasian ini secara sektoral dengan alokasi program pemerataan dapil.
Setelah proses tersebut disetujui dalam bentuk anggaran, dana tersebut dimasukkan ke APBN. Dalam penggunaannya nanti, kata Setya, anggaran Rp15 miliar itu diutamakan untuk kesejahteraan rakyat, antara lain berbentuk program pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Untuk pertanggungjawabannya, tentu jadi perhatian. Alurnya, daerah yang mengadakan tender untuk dilaporkan ke pemerintah pusat. Lalu, kata Setya, sebelum realisasi program akan diaudit BPK, sehingga ada jaminan tidak salah sasaran.
Bisa jadi Novanto lupa, bagaimana beberapa kasus yang melibatkan temannya – sesama anggota DPR, dalam tindak pidana korupsi. Hampir semuanya terkait dengan “perjuangan” untuk menggolkan anggaran. Sebut saja, kasus korupsi Tanjung Api-Api, pengadaan kapal patroli Departemen Perhubungan, atau pengadaan sistem radio komunikasi terpadu Departemen Kehutanan.
"Tak ada kesepakatan di Setgab. Yang jelas, secara prinsip kami tidak setuju soal itu. Karena, kebijakan dana aspirasi itu sudah melampaui kewenangan kita di legislator," ungkap Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta.
Menurut Anis, pemerintah yang lebih berwenang menyalurkan anggaran ke daerah. Kalau itu terjadi, akan merusak pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal itu dinilai jelas akan merugikan negara.
“ Saya menolak itu. Saya tak ingin rakyat menyebut DPR sebagai perampok, jika menyetujui usulan Golkar tersebut,” ujar Ketua DPR RI Marzuki Alie seraya menjelaskan bahwa usulan Golkar soal anggaran Rp15 miliar untuk dibagi-bagikan per Dapil itu, hanya akan menurunkan citra, dan wibawa DPR di mata masyarakat.
Tak kalah kerasnya suara dari Partai Amanat Nasional (PAN). Melalui Ketua Bidang Kominasi DPP PAN, Bima Arya Sugiarto mengingatkan agar Golkar tidak memaksakan isu ini di dalam Setgab. PAN berharap, Golkar mau menghargai pendapat masing-masing fraksi yang menolak wacana ini.
"Proposal Golkar ini semakin mencoreng wajah parlemen," kata Bima.
Menurut Bima, parlemen tidak punya kewenangan dalam alokasi budget. “ Itu ranah eksekutif, dana aspirasi juga berpotensi untuk menyuburkan praktek kolutif antara parlemen, eksekutif dan bisnis."
“ Sikap ini, akan menjadi arahan bagi anggota PAN di parlemen. Keinginan membangun daerah, semua sudah ada alokasinya melalui RAPBN," ungkap Bima.
Nah, isyarat penolakan pemerintah juga mengemukan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Gedung DPR RI, Selasa (01/06) mengungkapkan alasan ketidaksetujuan itu. Pemerintah berpendapat, keterwakilan daerah pemilihan tidak hanya DPR saja, melainkan juga oleh DPD dan DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.
Menteri Keuangan menyatakan jika hal ini diterapkan, Dapil Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk yang lebih banyak akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dari pada Dapil luar Jawa dan Bali. Demikian juga dapil wilayah bagian barat Indonesia akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan dapil wilayah Timur Indonesia.
Dengan demikian, apabila usulan tersebut disetujui maka alokasi dana per-Dapil tidak akan mendorong teratasinya masalah horizontal fiscal imbalance.
Menkeu berpandangan, usulan tersebut justru berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana, selain kurang terpenuhinya aspek ekualisasi dan keadilan. Karena, daerah dengan kapasitas keuangan tinggi justru mendapatkan alokasi, sedangkan daerah yang benar-benar membutuhkan namun berkapasitas keuangan rendah kurang mendapatkan alokasi.
Bahkan Menteri Keuangan juga menyampaikan ada potensi pelanggaran jika usulan tersebut dilaksanakan.Antara lain, berbagai peraturan perundangan seperti UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Lalu apa artinya klaim politik Golkar ? Toh, bila Setgab Koalisi memang benar dan sudah sepakat, bola “proyek” Rp15 miliar ini, dipastikan tinggal ditendang dan langsung gol di Parlemen.
Lantas bersuarakah partai-partai non-koalisi ? Fraksi Gerindra DPR terang-terangan menolaknya. Adalah Martin Hutabarat yang menyuarakan hal tersebut. “Usulan program pemerataan dan pembangunan daerah pemilihan senilai Rp15 miliar per anggota DPR itu, rawan korupsi. Lagi pula, program tersebut, tidak berkaitan langsung dengan rakyat,” ujar Martin.
"DPR ingin memperoleh legitimasi uang rakyat dengan menyogok rakyat. Kalau mau mendapat legitimasi harusnya membuat sistem politik yang baik, jangan nyogok dong," kata Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Rocky menambahkan, dana Rp 15 miliar ini juga cara DPR untuk bisa menguntungkan diri sendiri. "Fungsi DPR sudah jelas, membuat aturan untuk pemerintah. Bukan membuat aturan untuk menguntungkan diri sendiri."
Bisa jadi “proyek” Rp15 miliar per-Dapil ini memang membuat banyak pihak gerah. Tapi yang namanya politik, tidak pernah hitam-putih. Selalu ada celah untuk melakukan pembenaran.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar langkah itu tidak akan meningkatkan pamor Golkar.
"Saya kira tidak akan naik pamor di (tahun) 2014 nanti, malah turun," tutur Muhaimin.
Kata Muhaimin, dana itu tidak diperlukan dan bisa mengaburkan hak budget dan hak pelaksana budget. "Saya kira dana itu enggak perlu lah. Karena dengan sendirinya itu akan mengaburkan hak budget dan hak pelaksana dari budget."
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mewanti-wanti agar permintaan alokasi anggaran per-Dapil itu dipertanggungjawabkan secara jelas. Sebab jika tidak, DPR sendiri yang akan terkena getahnya.
"Kalau itu jadi, harus ada tanggung jawab anggota DPR atas wilayah pemilihannya. Diharapkan kebijakan ini tidak memberikan peluang proses tawar menawar atau indikasi hal-hal yang kurang baik bagi citra DPR sendiri," ujarnya Sekjen PPP Irgan Chairul.
Jika sudah demikian, bagaimana nasib “proyek” Rp 15 miliar per Dapil ? Apa yang akan dilakukan kemudian oleh Partai Golkar yang berkehendak membela konstituennya? Memang, jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Bila melihat peta dukung-mendukung soal ini, jelas terlihat adanya ketidakharmonisan diantara sesama anggota Setgab Koalisi. Namun, tidak bisa terlalu jauh pula melihatnya. Penolakan yang mengisi ruang publik saat ini, bisa jadi hanya bersifat sementara. Setelah dituak-utik, buntutnya setuju juga.
Tentu ada baiknya kita melakukan kilas balik, guna mengukur kekokohan anggota Setgab Koalisi. Saatnya mengkaji efektifitas koalisi partai. Hasil Rapat Paripurna DPR menyikapi hasil Pansus Angket Century, menunjukkan anggota Setgab Koalisi pendukung pemerintah, tidak solid. Sepak terjang partai-partai koalisi malah lebih membahayakan eksistensi pemerintahan.
Ingat, pada Rapat Paripurna DPR, Rabu tengah malam (03/03) yang lalu, melalui voting melahirkan keputusan memilih Opsi C. Itu artinya, DPR menganggap bailout Rp6,7 triliun terhadap Bank Century, bermasalah, dan menyerahkan kasusnya ke proses hukum.
Hasil voting itu jelas menggambarkan betapa beberapa parpol pendukung koalisi, tidak komit. Sejak pengambilan suara tahap pertama - - untuk menyetujui atau tidak Opsi A plus C melengkapi opsi A, dan C yang sudah ada sebelumnya, pembelotan itu sudah terlihat. Bahkan sejak awal pembentukan Pansus Century, soliditas koalisi sudah tidak terjaga dengan baik.
Ketika voting pertama itu, sebanyak 294 anggota parlemen memilih Paket I yang berisi Opsi A dan C. Paket ini antara lain dipilih oleh Partai Golkar 104 suara, PDI Perjuangan (90), PKS, Gerindra (25), dan Hanura (17). Mereka mengalahkan 246 anggota Dewan dengan pilihan Opsi A, C, dan A+C (gabungan), yang didukung Partai Demokrat (148 suara), PAN (40), PPP (33) serta PKB (25).
Pada pengambilan suara tahap kedua, hasilnya lebih buruk lagi buat partai pendukung pemerintah. Ketika harus memilih Opsi A, yang menganggap bailout Bank Century tak bermasalah, atau Opsi C (bailout bermasalah), pengkhiatan makin parah. PPP, yang sebelumnya masih dalam barisan koalisi, berbalik mendukung oposisi dengan pilihan C.
Akibatnya, Partai Demokrat, PKB, dan PAN hanya meraih 212 suara. Perolehan ini jelas, kalah jauh dari perolehan (325 suara), yang dimotori Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, Gerindra, dan Hanura, ditambah PPP.
Belajar dari kondisi paripurna, sekarang, koalisi coba diefektifkan melalui Setgab Koalisi. Namun, dalam iji coba “proyek” Rp 15 miliar, sudah terlihat nuansa lahirnya faksi-faksi dalam Setgab.
Mengapa bisa terjadi ? Merujuk pengalaman soal Century, toh Parpol pendukung pemerintah yang “berkhianat” tidak mendapat hukuman atas prilakunya. Sementara yang mendukungpun tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal (Bisa jadi hanya Golkar dengan dijadikan Ketua Harian Setgab).
Apa artinya dari semua itu? Dalam proses kelanjutan pemerintahan, parpol koalisi, baik mendukung atau menentang, sama saja artinya. Parpol bisa bermain-main sendiri, demi meraih keuntungan dalam setiap moment yang ada. Tokh, kedepan, hak menyatakan pendapat masih menggantung. Belum pernah ada keputusan untuk menolak atau melanjutkan. Ini moment yang cukup strategis dalam permainan politik kedepan.
Suara seperti ini pernah diungkapkan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto. Bekas pengamat politik ini, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku ikon pemimpin partai koalisi, bersikap tegas. Bima menginginkan, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, menghukum parpol anggota koalisi yang mengambil sikap berbeda dalam kasus Bank Century.
Intinya, SBY harus tegas menerapkan prinsip reward and punishment. Jadi, bagi siapa yang berprestasi, harus mendapat penghargaan. Kalau tidak produktif, apalagi sampai mengganggu, perlu diganjar dengan hukuman.
Tujuannya jelas, menjaga efektifitas pemerintahan. Terutama agar pemerintah lebih leluasa dalam menunaikan janji-janji kampanye Pemilu 2009. Dan pada gilirannya, masyarakat lebih sejahtera.
Fenomena politik itu tidak sekedar melahirkan besarnya perbedaan pendapat dalam memandang sebuah kebijakan secara keseluruhan. Yang lebih berbahaya, hal itu jelas menunjukkan tercerabutnya kekuatan pemerintah di Parlemen. Padahal, idealnya pemerintah dominan, agar kuat, dan bisa menjalankan programnya untuk mensejahterakan masyarakat.
Jauh sebelumnya, Partai Demokrat sudah terang-terangan meminta agar partai koalisi yang tak sejalan dengan kebijakan pemerintah, pamit baik-baik. Karena, tidak ada gunanya mempertahankan pakta kebersamaan, jika tetap saling curiga, saling serang. Padahal, semuanya bisa dibicarakan, dan dirembukkan baik-baik.
Ketika itu, Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin, dan belakangan anggota Dewan Pertimbangan Hayono Isman, dalam berbagai kesempatan kerap menyuarakan ketidaksukaan pada para pembelot itu. Keduanya berpandangan lebih fair kalau mereka keluar baik-baik, dan memperkuat barisan oposisi.
Tidak seperti sekarang, duduk bersama seolah-olah sebagai partner, tetapi selalu merecoki. Mestinya, sebagai teman, tidak usah berlaku mesra, tetapi harus saling mendukung untuk kebaikan bersama.
Apakah moment “proyek” Rp 15 miliar ini akan menjadi ajang ujicoba kedua bagi kekompakan Parpol pendukung pemerintah yang ada di Setgab? Atau akan ada permainan baru, terkait tiadanya reward and punishment ? Kita lihat siapa yang lebih piawai.
(Yusuf Yazid)Di ruang publik, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolaknya. Begitu juga Gerindra dan PAN. PDIP memberikan catatan khusus, utamanya soal teknis bila hal itu direalisasi, sama seperti PPP dan PKB. Dan Partai Demokrat, juga terbelah. Ada yang mendukung, seperti anggota Komisi XI, Achsanul Qosasih, sementara rekannya separtai yang menolak adalah Ketua DPR RI Marzuki Alie.
Yang menarik, Golkar meng-klaim bahwa anggota Setgab sudah setuju dengan gagasan ini. Namun, pemerintah sendiri sudah memberi isyarat menolak kehendak tersebut. Jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Wacana “proyek” Rp 15 miliar per-Dapil ini, secara terang terungkap melalui Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Setya Novanto. “Partai-partai dalam Setgab Koalisi sudah sepakat,” katanya.
"Soal anggaran Rp15 miliar itu, kita sudah rapat Setgab tadi malam (Kamis malam 03/06). Hasilnya menyetujui semua usulan tersebut. Namanya, dana alokasi program dan pemerataan daerah pemilihan," ungkap Setya Novanto.
Novanto memang begitu meyakinkan menjelaskan soal “proyek” Rp15 miliar ini. Selian menyatakan Setgab Koalisi sudah sepakat, Bendahara Umum DPP Golkar ini juga memperkuat landasan legal argumentasinya.
Landasan program yang dimaksud Novanto adalah pasal 15 ayat 3 dan 5 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal itu disebutkan, DPR dapat mengusulkan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam UU tentang APBN.
Menurut Golkar, pengalokasian dana anggaran itu sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota DPR terpilih pada Dapilnya. Soal bagaimana mekanisme penyalurannya, akan diurus oleh Pemda dengan persetujuan DPR. Yang mengusulkan Pemda kepada anggota DPR, lalu anggota DPR menyerahkan ke Badan Anggaran, setelah itu dirapatkan dengan pemerintah. Setelah disetujui, pengalokasian ini secara sektoral dengan alokasi program pemerataan dapil.
Setelah proses tersebut disetujui dalam bentuk anggaran, dana tersebut dimasukkan ke APBN. Dalam penggunaannya nanti, kata Setya, anggaran Rp15 miliar itu diutamakan untuk kesejahteraan rakyat, antara lain berbentuk program pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Untuk pertanggungjawabannya, tentu jadi perhatian. Alurnya, daerah yang mengadakan tender untuk dilaporkan ke pemerintah pusat. Lalu, kata Setya, sebelum realisasi program akan diaudit BPK, sehingga ada jaminan tidak salah sasaran.
Bisa jadi Novanto lupa, bagaimana beberapa kasus yang melibatkan temannya – sesama anggota DPR, dalam tindak pidana korupsi. Hampir semuanya terkait dengan “perjuangan” untuk menggolkan anggaran. Sebut saja, kasus korupsi Tanjung Api-Api, pengadaan kapal patroli Departemen Perhubungan, atau pengadaan sistem radio komunikasi terpadu Departemen Kehutanan.
"Tak ada kesepakatan di Setgab. Yang jelas, secara prinsip kami tidak setuju soal itu. Karena, kebijakan dana aspirasi itu sudah melampaui kewenangan kita di legislator," ungkap Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta.
Menurut Anis, pemerintah yang lebih berwenang menyalurkan anggaran ke daerah. Kalau itu terjadi, akan merusak pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, hal itu dinilai jelas akan merugikan negara.
“ Saya menolak itu. Saya tak ingin rakyat menyebut DPR sebagai perampok, jika menyetujui usulan Golkar tersebut,” ujar Ketua DPR RI Marzuki Alie seraya menjelaskan bahwa usulan Golkar soal anggaran Rp15 miliar untuk dibagi-bagikan per Dapil itu, hanya akan menurunkan citra, dan wibawa DPR di mata masyarakat.
Tak kalah kerasnya suara dari Partai Amanat Nasional (PAN). Melalui Ketua Bidang Kominasi DPP PAN, Bima Arya Sugiarto mengingatkan agar Golkar tidak memaksakan isu ini di dalam Setgab. PAN berharap, Golkar mau menghargai pendapat masing-masing fraksi yang menolak wacana ini.
"Proposal Golkar ini semakin mencoreng wajah parlemen," kata Bima.
Menurut Bima, parlemen tidak punya kewenangan dalam alokasi budget. “ Itu ranah eksekutif, dana aspirasi juga berpotensi untuk menyuburkan praktek kolutif antara parlemen, eksekutif dan bisnis."
“ Sikap ini, akan menjadi arahan bagi anggota PAN di parlemen. Keinginan membangun daerah, semua sudah ada alokasinya melalui RAPBN," ungkap Bima.
Nah, isyarat penolakan pemerintah juga mengemukan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Gedung DPR RI, Selasa (01/06) mengungkapkan alasan ketidaksetujuan itu. Pemerintah berpendapat, keterwakilan daerah pemilihan tidak hanya DPR saja, melainkan juga oleh DPD dan DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota.
Menteri Keuangan menyatakan jika hal ini diterapkan, Dapil Jawa dan Bali dengan jumlah penduduk yang lebih banyak akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dari pada Dapil luar Jawa dan Bali. Demikian juga dapil wilayah bagian barat Indonesia akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan dapil wilayah Timur Indonesia.
Dengan demikian, apabila usulan tersebut disetujui maka alokasi dana per-Dapil tidak akan mendorong teratasinya masalah horizontal fiscal imbalance.
Menkeu berpandangan, usulan tersebut justru berpotensi menimbulkan inefisiensi dalam penggunaan dana, selain kurang terpenuhinya aspek ekualisasi dan keadilan. Karena, daerah dengan kapasitas keuangan tinggi justru mendapatkan alokasi, sedangkan daerah yang benar-benar membutuhkan namun berkapasitas keuangan rendah kurang mendapatkan alokasi.
Bahkan Menteri Keuangan juga menyampaikan ada potensi pelanggaran jika usulan tersebut dilaksanakan.Antara lain, berbagai peraturan perundangan seperti UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Lalu apa artinya klaim politik Golkar ? Toh, bila Setgab Koalisi memang benar dan sudah sepakat, bola “proyek” Rp15 miliar ini, dipastikan tinggal ditendang dan langsung gol di Parlemen.
Lantas bersuarakah partai-partai non-koalisi ? Fraksi Gerindra DPR terang-terangan menolaknya. Adalah Martin Hutabarat yang menyuarakan hal tersebut. “Usulan program pemerataan dan pembangunan daerah pemilihan senilai Rp15 miliar per anggota DPR itu, rawan korupsi. Lagi pula, program tersebut, tidak berkaitan langsung dengan rakyat,” ujar Martin.
"DPR ingin memperoleh legitimasi uang rakyat dengan menyogok rakyat. Kalau mau mendapat legitimasi harusnya membuat sistem politik yang baik, jangan nyogok dong," kata Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Rocky menambahkan, dana Rp 15 miliar ini juga cara DPR untuk bisa menguntungkan diri sendiri. "Fungsi DPR sudah jelas, membuat aturan untuk pemerintah. Bukan membuat aturan untuk menguntungkan diri sendiri."
Bisa jadi “proyek” Rp15 miliar per-Dapil ini memang membuat banyak pihak gerah. Tapi yang namanya politik, tidak pernah hitam-putih. Selalu ada celah untuk melakukan pembenaran.
Menurut Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar langkah itu tidak akan meningkatkan pamor Golkar.
"Saya kira tidak akan naik pamor di (tahun) 2014 nanti, malah turun," tutur Muhaimin.
Kata Muhaimin, dana itu tidak diperlukan dan bisa mengaburkan hak budget dan hak pelaksana budget. "Saya kira dana itu enggak perlu lah. Karena dengan sendirinya itu akan mengaburkan hak budget dan hak pelaksana dari budget."
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mewanti-wanti agar permintaan alokasi anggaran per-Dapil itu dipertanggungjawabkan secara jelas. Sebab jika tidak, DPR sendiri yang akan terkena getahnya.
"Kalau itu jadi, harus ada tanggung jawab anggota DPR atas wilayah pemilihannya. Diharapkan kebijakan ini tidak memberikan peluang proses tawar menawar atau indikasi hal-hal yang kurang baik bagi citra DPR sendiri," ujarnya Sekjen PPP Irgan Chairul.
Jika sudah demikian, bagaimana nasib “proyek” Rp 15 miliar per Dapil ? Apa yang akan dilakukan kemudian oleh Partai Golkar yang berkehendak membela konstituennya? Memang, jika “proyek” itu disetujui, setidaknya negara akan menyediakan Rp8,4 triliun per tahun, untuk 560 anggota DPR RI periode 2009-2014.
Bila melihat peta dukung-mendukung soal ini, jelas terlihat adanya ketidakharmonisan diantara sesama anggota Setgab Koalisi. Namun, tidak bisa terlalu jauh pula melihatnya. Penolakan yang mengisi ruang publik saat ini, bisa jadi hanya bersifat sementara. Setelah dituak-utik, buntutnya setuju juga.
Tentu ada baiknya kita melakukan kilas balik, guna mengukur kekokohan anggota Setgab Koalisi. Saatnya mengkaji efektifitas koalisi partai. Hasil Rapat Paripurna DPR menyikapi hasil Pansus Angket Century, menunjukkan anggota Setgab Koalisi pendukung pemerintah, tidak solid. Sepak terjang partai-partai koalisi malah lebih membahayakan eksistensi pemerintahan.
Ingat, pada Rapat Paripurna DPR, Rabu tengah malam (03/03) yang lalu, melalui voting melahirkan keputusan memilih Opsi C. Itu artinya, DPR menganggap bailout Rp6,7 triliun terhadap Bank Century, bermasalah, dan menyerahkan kasusnya ke proses hukum.
Hasil voting itu jelas menggambarkan betapa beberapa parpol pendukung koalisi, tidak komit. Sejak pengambilan suara tahap pertama - - untuk menyetujui atau tidak Opsi A plus C melengkapi opsi A, dan C yang sudah ada sebelumnya, pembelotan itu sudah terlihat. Bahkan sejak awal pembentukan Pansus Century, soliditas koalisi sudah tidak terjaga dengan baik.
Ketika voting pertama itu, sebanyak 294 anggota parlemen memilih Paket I yang berisi Opsi A dan C. Paket ini antara lain dipilih oleh Partai Golkar 104 suara, PDI Perjuangan (90), PKS, Gerindra (25), dan Hanura (17). Mereka mengalahkan 246 anggota Dewan dengan pilihan Opsi A, C, dan A+C (gabungan), yang didukung Partai Demokrat (148 suara), PAN (40), PPP (33) serta PKB (25).
Pada pengambilan suara tahap kedua, hasilnya lebih buruk lagi buat partai pendukung pemerintah. Ketika harus memilih Opsi A, yang menganggap bailout Bank Century tak bermasalah, atau Opsi C (bailout bermasalah), pengkhiatan makin parah. PPP, yang sebelumnya masih dalam barisan koalisi, berbalik mendukung oposisi dengan pilihan C.
Akibatnya, Partai Demokrat, PKB, dan PAN hanya meraih 212 suara. Perolehan ini jelas, kalah jauh dari perolehan (325 suara), yang dimotori Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, Gerindra, dan Hanura, ditambah PPP.
Belajar dari kondisi paripurna, sekarang, koalisi coba diefektifkan melalui Setgab Koalisi. Namun, dalam iji coba “proyek” Rp 15 miliar, sudah terlihat nuansa lahirnya faksi-faksi dalam Setgab.
Mengapa bisa terjadi ? Merujuk pengalaman soal Century, toh Parpol pendukung pemerintah yang “berkhianat” tidak mendapat hukuman atas prilakunya. Sementara yang mendukungpun tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal (Bisa jadi hanya Golkar dengan dijadikan Ketua Harian Setgab).
Apa artinya dari semua itu? Dalam proses kelanjutan pemerintahan, parpol koalisi, baik mendukung atau menentang, sama saja artinya. Parpol bisa bermain-main sendiri, demi meraih keuntungan dalam setiap moment yang ada. Tokh, kedepan, hak menyatakan pendapat masih menggantung. Belum pernah ada keputusan untuk menolak atau melanjutkan. Ini moment yang cukup strategis dalam permainan politik kedepan.
Suara seperti ini pernah diungkapkan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto. Bekas pengamat politik ini, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku ikon pemimpin partai koalisi, bersikap tegas. Bima menginginkan, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu, menghukum parpol anggota koalisi yang mengambil sikap berbeda dalam kasus Bank Century.
Intinya, SBY harus tegas menerapkan prinsip reward and punishment. Jadi, bagi siapa yang berprestasi, harus mendapat penghargaan. Kalau tidak produktif, apalagi sampai mengganggu, perlu diganjar dengan hukuman.
Tujuannya jelas, menjaga efektifitas pemerintahan. Terutama agar pemerintah lebih leluasa dalam menunaikan janji-janji kampanye Pemilu 2009. Dan pada gilirannya, masyarakat lebih sejahtera.
Fenomena politik itu tidak sekedar melahirkan besarnya perbedaan pendapat dalam memandang sebuah kebijakan secara keseluruhan. Yang lebih berbahaya, hal itu jelas menunjukkan tercerabutnya kekuatan pemerintah di Parlemen. Padahal, idealnya pemerintah dominan, agar kuat, dan bisa menjalankan programnya untuk mensejahterakan masyarakat.
Jauh sebelumnya, Partai Demokrat sudah terang-terangan meminta agar partai koalisi yang tak sejalan dengan kebijakan pemerintah, pamit baik-baik. Karena, tidak ada gunanya mempertahankan pakta kebersamaan, jika tetap saling curiga, saling serang. Padahal, semuanya bisa dibicarakan, dan dirembukkan baik-baik.
Ketika itu, Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin, dan belakangan anggota Dewan Pertimbangan Hayono Isman, dalam berbagai kesempatan kerap menyuarakan ketidaksukaan pada para pembelot itu. Keduanya berpandangan lebih fair kalau mereka keluar baik-baik, dan memperkuat barisan oposisi.
Tidak seperti sekarang, duduk bersama seolah-olah sebagai partner, tetapi selalu merecoki. Mestinya, sebagai teman, tidak usah berlaku mesra, tetapi harus saling mendukung untuk kebaikan bersama.
Apakah moment “proyek” Rp 15 miliar ini akan menjadi ajang ujicoba kedua bagi kekompakan Parpol pendukung pemerintah yang ada di Setgab? Atau akan ada permainan baru, terkait tiadanya reward and punishment ? Kita lihat siapa yang lebih piawai.
Mukhamad Misbakhun (Helmi/dok)2010-06-30 17:01:19
Gelapkan Dokumen, Misbakhun Diancam 15 Tahun
Politikindonesia - Komisaris Utama PT Selalang Prima Internasional, Mukhammad Misbakhun terancam hukuman 15 tahun penjara. Dalam sidang perdana kasus L/C fiktif Bank Century ini, Misbakhun dijerat dengan tiga dakwaan alternatif. Dia diancam dengan Pasal 49 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 263 ayat 1, dan Pasal 264 ayat 2 KUHP.
Dakwaan tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum Agoes Djaya dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Rabu (30/06). “Terdakwa dengan sengaja membuat pencatatan palsu dalam pembukuan, dokumen, laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank," ujar Agoes.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Ketua Pramodana KK Admadja tersebut, ada dua terdakwa. Terdakwa pertama adalah Franky Ongko Wardjojo, Direktur PT Selalang Prima Internasional, dan terdakwa kedua adalah Misbakhun sebagai komisaris.
Tiga Dakwaan
Dalam dakwaannya, jaksa menuding Misbakhun bersama-sama dengan Direktur Utama PT Selalang Franky Ongkowardojo, juga pemilik saham PT Bank Century Tbk Robert Tantular dan Direktur Utama Century Hermanus Hasan Muslim melakukan tindak pidana.
Ada tiga dakwaan yang dikenakan jaksa atas kedua terdakwa ini. Disebutkan dalam dakwaan, terdakwa telah melanggar pasal 49 ayat 1 UU 10 tahun 1998 (UU Perbankan) jo pasal 55 ayat 1 KUHP yakni melakukan atau turut serta melakukan, dengan sengaja membuat atau menyebabkan, adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen, atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank. Pasal ini memberikan ancaman terberat 15 tahun dan denda Rp200 miliar.
Pada dakwaan kedua, Jaksa mengenakan pasal 264 ayat 2 KUHP jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Dalam pasal itu diatur tentang perbuatan melakukan, atau turut serta melakukan dengan sengaja, memakai surat kredit, atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan, yang isinya, tidak sejati atau yang dipalsukan, seolah-olah benar dan tidak palsu dan pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pasal tersebut menyatakan hukuman maksimal delapan tahun.
Jaksa menyatakan permohonan fasilitas kredit yang diajukan Misbakhun tak sesuai dengan prosedur dan kenyataan, sehingga turut menyebabkan Century merugi, kredit macetnya bertambah, sehingga likuiditasnya seret dan akhirnya ambruk.
Adapun dakwaan ketiga, adalah pasal 263 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Dalam pasal ini diatur tentang perbuatan melakukan, atau turut serta melakukan membuat surat palsu, atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan suatu hak perikatan. atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti, daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut, seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dan pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pasal ini memberikan ancaman penjara maksimal enam tahun.
Dakwaan ini menyasar perbuatan Misbakhun memakai surat kredit atau surat dagang palsu yang dapat menimbulkan kerugian. Menurut Jaksa, terdapat kegiatan seolah-olah menyerahkan deposito sebesar US$45 juta kepada Bank Century. Meski deposito nyatanya tak ada, pegawai Century, Linda Wangsadinata dan Arga Tirta Kirana seakan menerima dalam surat gadai atas deposito tertanggal 22 November 2007. Padahal, tanpa surat gadai deposito dan surat kuasa pencairan, permohonan L/C tak memenuhi syarat.
Penangguhan Ditolak
Dalam sidang ini, para terdakwa mengajukan permintaan penangguhan tahanan, tetapi hakim tidak mengabulkannya. Sidang akan dilanjutkan pada Rabu pekan depan untuk membaca eksepsi terdakwa.
Adapun menanggapi dakwaan jaksa, Misbakhun merasa bingung karena tuduhan awal L/C fiktif, tetapi kenyataannya hanya pasal penggelapan dokumen. "Sejak awal saya sebagai salah satu penggagas Pansus kasus Bank Century dituduh mengajukan L/C fiktif. Saya yakin di pengadilan ini bisa terungkap," kata Misbakhun kepada wartawan sesuai sidang.
Misbakhun yang ditahan sejak 27 April 2010 itu menyatakan tak memahami dakwaan jaksa. "Dakwaannya tidak jelas," ucapnya seusai sidang. "Penjara tidak akan membuat saya takut."
(nit/yk)Dakwaan tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum Agoes Djaya dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Rabu (30/06). “Terdakwa dengan sengaja membuat pencatatan palsu dalam pembukuan, dokumen, laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank," ujar Agoes.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Ketua Pramodana KK Admadja tersebut, ada dua terdakwa. Terdakwa pertama adalah Franky Ongko Wardjojo, Direktur PT Selalang Prima Internasional, dan terdakwa kedua adalah Misbakhun sebagai komisaris.
Tiga Dakwaan
Dalam dakwaannya, jaksa menuding Misbakhun bersama-sama dengan Direktur Utama PT Selalang Franky Ongkowardojo, juga pemilik saham PT Bank Century Tbk Robert Tantular dan Direktur Utama Century Hermanus Hasan Muslim melakukan tindak pidana.
Ada tiga dakwaan yang dikenakan jaksa atas kedua terdakwa ini. Disebutkan dalam dakwaan, terdakwa telah melanggar pasal 49 ayat 1 UU 10 tahun 1998 (UU Perbankan) jo pasal 55 ayat 1 KUHP yakni melakukan atau turut serta melakukan, dengan sengaja membuat atau menyebabkan, adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen, atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank. Pasal ini memberikan ancaman terberat 15 tahun dan denda Rp200 miliar.
Pada dakwaan kedua, Jaksa mengenakan pasal 264 ayat 2 KUHP jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Dalam pasal itu diatur tentang perbuatan melakukan, atau turut serta melakukan dengan sengaja, memakai surat kredit, atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan, yang isinya, tidak sejati atau yang dipalsukan, seolah-olah benar dan tidak palsu dan pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pasal tersebut menyatakan hukuman maksimal delapan tahun.
Jaksa menyatakan permohonan fasilitas kredit yang diajukan Misbakhun tak sesuai dengan prosedur dan kenyataan, sehingga turut menyebabkan Century merugi, kredit macetnya bertambah, sehingga likuiditasnya seret dan akhirnya ambruk.
Adapun dakwaan ketiga, adalah pasal 263 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Dalam pasal ini diatur tentang perbuatan melakukan, atau turut serta melakukan membuat surat palsu, atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan suatu hak perikatan. atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti, daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai, atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut, seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dan pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pasal ini memberikan ancaman penjara maksimal enam tahun.
Dakwaan ini menyasar perbuatan Misbakhun memakai surat kredit atau surat dagang palsu yang dapat menimbulkan kerugian. Menurut Jaksa, terdapat kegiatan seolah-olah menyerahkan deposito sebesar US$45 juta kepada Bank Century. Meski deposito nyatanya tak ada, pegawai Century, Linda Wangsadinata dan Arga Tirta Kirana seakan menerima dalam surat gadai atas deposito tertanggal 22 November 2007. Padahal, tanpa surat gadai deposito dan surat kuasa pencairan, permohonan L/C tak memenuhi syarat.
Penangguhan Ditolak
Dalam sidang ini, para terdakwa mengajukan permintaan penangguhan tahanan, tetapi hakim tidak mengabulkannya. Sidang akan dilanjutkan pada Rabu pekan depan untuk membaca eksepsi terdakwa.
Adapun menanggapi dakwaan jaksa, Misbakhun merasa bingung karena tuduhan awal L/C fiktif, tetapi kenyataannya hanya pasal penggelapan dokumen. "Sejak awal saya sebagai salah satu penggagas Pansus kasus Bank Century dituduh mengajukan L/C fiktif. Saya yakin di pengadilan ini bisa terungkap," kata Misbakhun kepada wartawan sesuai sidang.
Misbakhun yang ditahan sejak 27 April 2010 itu menyatakan tak memahami dakwaan jaksa. "Dakwaannya tidak jelas," ucapnya seusai sidang. "Penjara tidak akan membuat saya takut."
2010-06-30 02:25:54
Blunder Politik Anas dan Andi Nurpati
Politikindonesia - Sejak Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengumumkan komposisi “pasukan” yang menyertainya, soal Andi Nurpati Baharudin, sejak awal sudah ditengarai akan menjadi blunder politik bagi Anas dan Partai Demokrat.
Suka atau tidak suka, serangkai tanda-tanya langsung menyergab. Sejak kapan Andi Nurpati menjadi anggota Partai Demokrat? Apakah ketika Anas mengumumkan komposisi personal DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati sudah menjadi anggota? Bagaimana mungkin, seorang pengurus yang diangkat, tetapi belum menjadi anggota partai?
Nyatanya, setelah Anas mentasbihkan Andi Nurpati dalam kepengurusan, baru kemudian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini menyatakan berhenti. Apakah Andi Nurpati sudah menjadi anggota partai, ketika dia masih menjadi anggota KPU? Ya, itulah tema politik terhangat yang berkembang hingga kini.
Semua pihak mengakui bahwa hak berpolitik adalah azasi dari setiap individu. Tapi lain ceritanya, jika hak politik tersebut digunakan seorang warga negara yang menjabat sebagai komisioner di Komisi Pemilihan Umum. Kontroversi. Itulah yang kemudian muncul, serta menyelimuti pilihan Andi Nurpati Baharuddin, bergabung dengan Partai Demokrat.
Dari sisi prestasi, barangkali Andi Nurpati cukup mumpuni. Dia menjadi ‘kejora’-nya kaum perempuan Indonesia, ditengah gencarnya kesetaraan dan pengarusutamaan gender. Sebelum menjadi anggota KPU, kelahiran Macero Wajo, Sulawesi Selatan 2 Juli 1966 adalah PNS guru pembina Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Kegemarannya berorganisasi dimulai Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Senat Mahasiswa, Nasyiatul Aisyiah, Ketua Lembaga Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Lampung. Aktifis perempuan ini sangat aktif berpartisipasi dalam kehidupan dan proses tegaknya demokrasi.
Bekal pendidikannya pun mendukung. Ibu tiga anak ini lulusan sarjana Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris UIN Alaudin Ujung Pandang tahun 1992. Istri Drs Habiburahman, MM itu kemudian melanjutkan pendidikan postgraduate, Master Teacher Programme Deakin University Melbourne, Australia tahun 2000. Tak hanya itu, dia juga meraih M.Pd dari FKIP Universitas Lampung teknologi pendidikan (2006) dengan tesis “Pengaruh Latar Belakang Tingkat Pendidikan, Sosial Ekonomi dan Akses Media Terhadap Pembelajaran Politik Bagi Pemilih Perempuan (Pada Pemilu 2004 Di Bandar Lampung).
Perempuan yang memulai karir akademik sebagai dosen luar biasa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Lampung, IAIN Raden Inten Bandar Lampung.
Di lembaga pemilihan umum, Andi Nurpati menapaki karir sebagai anggota Panwaslu Provinsi Lampung pada Pemilu 2004. Pada 2005, dia menjadi Ketua Panwas Pilkada Kota Bandar Lampung. Masih ada sederet jabatan lagi diorganisasi. Dia menjadi Sekretaris Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) Lampung 2004-2008 dan anggota Perludem Pusat (2004-2008). Juga aktif menjadi narasumber seminar, diskusi, dialog tentang politik, Pemilu dan peran perempuan dalam bidang politik, sosial dan kemasyarakatan.
Dengan bintang terang seperti itu, tak heran jika Partai Demokrat kepincut meminangnya menjadi salah satu Dewan Pengurus Pusat. Atau, setidaknya dia diterima menjadi jajaran elit demokrat. Semoga semua itu karena pertimbangan kompetensi dan prestasi.
Moral dan Oportunis
Persoalan menjadi rumit karena ketika Kamis 17 Juni 2010, dimana Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengumumkan dia sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, Andi Nurpati masih berstatus komisioner KPU. Publik mendebat, dia adalah seorang komisioner KPU, yang dalam proses seleksinya telah berjanji tidak akan berkecimpung ke dalam partai politik selama masa jabatannya. Kasus Andi Nurpati berbeda dengan Anas maupun Hamid Awaludin yang juga berhenti dari KPU karena jabatan lain. Anas terlebih dahulu berhenti dari KPU, dan baru kemudian bergabung ke Demokrat.
Persoalan makin blibet bak benang kusut karena prosedur mundur yang tersedia dalam UU Penyelenggara Pemilu hanya jika seorang komisioner itu sakit atau mengalami gangguan fisik atau jiwa. Dengan begitu, prosedur pemberhentian yang tersedia untuk Andi Nurpati adalah pertama, tidak memenuhi syarat, dan kedua, melanggar kode etik. Itu pun mesti dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
Sangat disayangkan, selama ini Andi Nurpati justru terkesan tidak mau berhenti dari KPU sampai keluarnya putusan Presiden soal pemberhentiannya. Desakan pengamat, politisi pimpinan parpol lain, sampai komentar hakim konstiusi yang ‘gemas’ dan memintanya segera mundur malahan ditanggapi berbeda.
Dia mempertanyakan bagaimana hak asasi manusia di KPU, yang dinilainya tidak adil terhadap dirinya. Andi Nurpati merasa tidak melanggar etika jabatannya. Pasalnya, sejak awal tidak ada larangan bagi penyelenggara pemilu berhenti dari jabatan untuk bergabung dengan partai. "Apa yang saya lakukan masih normal, dan wajar saja. Pilihan ini mungkin sudah tepat bagi saya untuk menentukan hidup yang lainnya," ujarnya kepada pers, Senin (21/06).
Jika seorang komisioner KPU dilarang untuk memilih tujuan hidupnya, lalu di mana letak hak asasi manusia di kantor tersebut. Meski didesak untuk segera mundur, Andi Nurpati mengaku sudah siap meninggalkan KPU. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dituntaskan di KPU.
Beragam anasir kemudian muncul. Mulai dari sekedar curiga, prasangka bahkan sampai yang berbau tuduhan. Termasuk soal kesan oportunis akan jabatan. Terkesan Andi Nurpati tidak mau mundur dari jabatannya sekarang sampai dia benar-benar pasti menjadi salah satu pengurus DPP Partai Demokrat (Ingat, pengurus yang diumumkan Anas Urbaningrum belum dilantik).
Baru dalam rapat pleno KPU, Rabu (23/06) Andi Nurpati menyatakan diri berhenti. Dia tidak akan mengikuti kegiatan KPU lagi, sampai dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden. Rabu itu juga, KPU menyatakan membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa ‘kasus’ berhentinya Andi Nurpati. Prosesnya pun sedang berjalan.
Mantan Watimpres Adnan Buyung Nasution bilang, ini masalah moral. Dengan nada keras malahan advokat berambut putih tersebut berkomentar, “Orang yang tidak bermoral dan beretika harus dipecat.”
Pengamat Pemilu Jeirry Sumampow menyentil Andi Nurpati telah melanggar komitmen yang ditekennya dalam surat bermaterai saat menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Surat itu berisi pernyataan mengabdi sepenuh waktu di Komisi Pemilihan Umum. "Juga di dalamnya, ada menyatakan sikap untuk tidak menjadi pejabat BUMN, pegawai negeri sipil atau pengurus partai, itu persyaratan menjadi anggota KPU,” kata Jeirry di Jakarta, Kamis (24/06).
Jangankan sebagai pengurus partai politik, anggota KPU Abdul Aziz mengaku, seingatnya janji bermaterai seorang komisioner KPU berisi kesediaan bekerja secara penuh waktu, termasuk bersedia melepaskan jabatan fungsional seperti PNS.
Secara penuh waktu, komisioner hanya menjalankan tugas KPU selama masa jabatannya. Jika sebelumnya berprofesi advokat, maka profesi itu harus ditanggalkan dulu selama masa menjabat.
Plin-Plan
Proses DK KPU tengah berjalan. Kini masalah tak hanya soal bergabungnya Andi Nurpati ke Demokrat. Seperti dikemukakan ketua DK KPU, Jimly Asshiddiqie, DK menyidangnya dalam dua dugaan pelanggaran kode etik. Yakni berkaitan dengan pemilukada Toli-Toli dan keterlibatannya sebagai pengurus partai politik.
Di hadapan sidang DK KPU ini, Selasa (29/06), setelah soal Hak Asasi, Andi Nurpati mengeluarkan alasan baru tentang langkahnya menerima tawaran Demokrat. Dia merasa tidak dikehendaki lagi di lembaga penyelenggara pemilu itu, sehingga memutuskan menarik. "Saya memahami, saya sudah tidak dikehendaki lagi berada di KPU. Lalu mengapa saya terus memaksa tinggal di KPU," ujar dia.
Andi Nurpati mengaku sebenarnya dia lebih senang berada di lembaga independen. Tapi karena ada kondisi dan situasi yang mempengaruhi akhirnya dia loncat pagar ke Partai Demokrat. "Silakan masyarakat yang menilai. Yang pasti kalau saya sedang di lembaga independen, saya bekerja secara independen."
Pertanyaannya adalah, bukankah ketika Anas mencantumkan namanya dalam kepengurusan Demokrat, Andi Nurpati masih menjadi anggota KPU? Tentu saja, ketika Anas mentasbihkannya di Demokrat, ada proses dialog atau tawar menawar antara keduanya? Lalu dimana letak sikap independen itu?
Tetapi, keberadaannya di jajaran pengurus Partai Demokrat yang diumumkan pertengahan Juni lalu membuat orang bercuriga. Karena patut diduga, ia sudah menjadi aktifis Demokrat saat masih sebagai anggota KPU. Soalnya, akan menjadi naif jika Demokrat mengangkat seorang menjadi pengurus inti, tanpa sebelumnya orang tersebut mengantongi kartu tanda anggota partai.
Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia melontarkan ide, untuk mengetahui sejak kapan persisnya Andi Nurpati bergabung dengan Demokrat penting untuk melihat Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Demokrat milik Andi Nurpati. Karena aturan di Demokrat hanya akan mengangkat pengurus yang sudah menjadi anggota selama waktu tertentu.
Sayang, hingga digelarnya sidang DK, Andi Nurpati ataupun Anas Urbaningrum tak menanggapi usulan Arbi untuk menunjukkan KTA dimaksud. Wajar bila kemudian lahir pergunjingan, adanya pembuatan KTA bertanggal mundur.
Persidangan DK KPU memang belum sampai pada putusan. Kasus ini juga menjadi batu ujian kredibilitas KPU. "Jadi jangan khawatir soal independensi anggota KPU di Dewan Kehormatan. Kami jamin," kata Endang, anggota KPU, yang masuk dalam tim DK KPU.
Akan tetapi, dengan taraf persoalan yang sudah ruwet seperti ini, banyak yang bertanya-tanya. Apakah tujuan Demokrat menariknya untuk meraih target partai dimasa mendatang akan tercapai? Tidakkah, kasus ini justru jadi bumerang dan mencoreng demokrat sendiri? Andi Nurpati mungkin tokoh perempuan yang terbilang cemerlang berkarir di kancah negara demokrasi ini. Akan sangat disayangkan jika penyikapannya dalam ‘migrasi’ ke demokrat menjadi sebuah cacat politik di mata publik.
Akan seperti apa bentuk penjelasan kepada publik, baik oleh Andi Nurpati atau oleh DPP Partai Demokrat dalam menuntaskan salah satu blunder politik ini? Tentu perlu kesabaran untuk menunggu.
(Yelas Kaparino) Suka atau tidak suka, serangkai tanda-tanya langsung menyergab. Sejak kapan Andi Nurpati menjadi anggota Partai Demokrat? Apakah ketika Anas mengumumkan komposisi personal DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati sudah menjadi anggota? Bagaimana mungkin, seorang pengurus yang diangkat, tetapi belum menjadi anggota partai?
Nyatanya, setelah Anas mentasbihkan Andi Nurpati dalam kepengurusan, baru kemudian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini menyatakan berhenti. Apakah Andi Nurpati sudah menjadi anggota partai, ketika dia masih menjadi anggota KPU? Ya, itulah tema politik terhangat yang berkembang hingga kini.
Semua pihak mengakui bahwa hak berpolitik adalah azasi dari setiap individu. Tapi lain ceritanya, jika hak politik tersebut digunakan seorang warga negara yang menjabat sebagai komisioner di Komisi Pemilihan Umum. Kontroversi. Itulah yang kemudian muncul, serta menyelimuti pilihan Andi Nurpati Baharuddin, bergabung dengan Partai Demokrat.
Dari sisi prestasi, barangkali Andi Nurpati cukup mumpuni. Dia menjadi ‘kejora’-nya kaum perempuan Indonesia, ditengah gencarnya kesetaraan dan pengarusutamaan gender. Sebelum menjadi anggota KPU, kelahiran Macero Wajo, Sulawesi Selatan 2 Juli 1966 adalah PNS guru pembina Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Kegemarannya berorganisasi dimulai Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Senat Mahasiswa, Nasyiatul Aisyiah, Ketua Lembaga Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Lampung. Aktifis perempuan ini sangat aktif berpartisipasi dalam kehidupan dan proses tegaknya demokrasi.
Bekal pendidikannya pun mendukung. Ibu tiga anak ini lulusan sarjana Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris UIN Alaudin Ujung Pandang tahun 1992. Istri Drs Habiburahman, MM itu kemudian melanjutkan pendidikan postgraduate, Master Teacher Programme Deakin University Melbourne, Australia tahun 2000. Tak hanya itu, dia juga meraih M.Pd dari FKIP Universitas Lampung teknologi pendidikan (2006) dengan tesis “Pengaruh Latar Belakang Tingkat Pendidikan, Sosial Ekonomi dan Akses Media Terhadap Pembelajaran Politik Bagi Pemilih Perempuan (Pada Pemilu 2004 Di Bandar Lampung).
Perempuan yang memulai karir akademik sebagai dosen luar biasa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Lampung, IAIN Raden Inten Bandar Lampung.
Di lembaga pemilihan umum, Andi Nurpati menapaki karir sebagai anggota Panwaslu Provinsi Lampung pada Pemilu 2004. Pada 2005, dia menjadi Ketua Panwas Pilkada Kota Bandar Lampung. Masih ada sederet jabatan lagi diorganisasi. Dia menjadi Sekretaris Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) Lampung 2004-2008 dan anggota Perludem Pusat (2004-2008). Juga aktif menjadi narasumber seminar, diskusi, dialog tentang politik, Pemilu dan peran perempuan dalam bidang politik, sosial dan kemasyarakatan.
Dengan bintang terang seperti itu, tak heran jika Partai Demokrat kepincut meminangnya menjadi salah satu Dewan Pengurus Pusat. Atau, setidaknya dia diterima menjadi jajaran elit demokrat. Semoga semua itu karena pertimbangan kompetensi dan prestasi.
Moral dan Oportunis
Persoalan menjadi rumit karena ketika Kamis 17 Juni 2010, dimana Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengumumkan dia sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, Andi Nurpati masih berstatus komisioner KPU. Publik mendebat, dia adalah seorang komisioner KPU, yang dalam proses seleksinya telah berjanji tidak akan berkecimpung ke dalam partai politik selama masa jabatannya. Kasus Andi Nurpati berbeda dengan Anas maupun Hamid Awaludin yang juga berhenti dari KPU karena jabatan lain. Anas terlebih dahulu berhenti dari KPU, dan baru kemudian bergabung ke Demokrat.
Persoalan makin blibet bak benang kusut karena prosedur mundur yang tersedia dalam UU Penyelenggara Pemilu hanya jika seorang komisioner itu sakit atau mengalami gangguan fisik atau jiwa. Dengan begitu, prosedur pemberhentian yang tersedia untuk Andi Nurpati adalah pertama, tidak memenuhi syarat, dan kedua, melanggar kode etik. Itu pun mesti dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
Sangat disayangkan, selama ini Andi Nurpati justru terkesan tidak mau berhenti dari KPU sampai keluarnya putusan Presiden soal pemberhentiannya. Desakan pengamat, politisi pimpinan parpol lain, sampai komentar hakim konstiusi yang ‘gemas’ dan memintanya segera mundur malahan ditanggapi berbeda.
Dia mempertanyakan bagaimana hak asasi manusia di KPU, yang dinilainya tidak adil terhadap dirinya. Andi Nurpati merasa tidak melanggar etika jabatannya. Pasalnya, sejak awal tidak ada larangan bagi penyelenggara pemilu berhenti dari jabatan untuk bergabung dengan partai. "Apa yang saya lakukan masih normal, dan wajar saja. Pilihan ini mungkin sudah tepat bagi saya untuk menentukan hidup yang lainnya," ujarnya kepada pers, Senin (21/06).
Jika seorang komisioner KPU dilarang untuk memilih tujuan hidupnya, lalu di mana letak hak asasi manusia di kantor tersebut. Meski didesak untuk segera mundur, Andi Nurpati mengaku sudah siap meninggalkan KPU. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu dituntaskan di KPU.
Beragam anasir kemudian muncul. Mulai dari sekedar curiga, prasangka bahkan sampai yang berbau tuduhan. Termasuk soal kesan oportunis akan jabatan. Terkesan Andi Nurpati tidak mau mundur dari jabatannya sekarang sampai dia benar-benar pasti menjadi salah satu pengurus DPP Partai Demokrat (Ingat, pengurus yang diumumkan Anas Urbaningrum belum dilantik).
Baru dalam rapat pleno KPU, Rabu (23/06) Andi Nurpati menyatakan diri berhenti. Dia tidak akan mengikuti kegiatan KPU lagi, sampai dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden. Rabu itu juga, KPU menyatakan membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa ‘kasus’ berhentinya Andi Nurpati. Prosesnya pun sedang berjalan.
Mantan Watimpres Adnan Buyung Nasution bilang, ini masalah moral. Dengan nada keras malahan advokat berambut putih tersebut berkomentar, “Orang yang tidak bermoral dan beretika harus dipecat.”
Pengamat Pemilu Jeirry Sumampow menyentil Andi Nurpati telah melanggar komitmen yang ditekennya dalam surat bermaterai saat menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Surat itu berisi pernyataan mengabdi sepenuh waktu di Komisi Pemilihan Umum. "Juga di dalamnya, ada menyatakan sikap untuk tidak menjadi pejabat BUMN, pegawai negeri sipil atau pengurus partai, itu persyaratan menjadi anggota KPU,” kata Jeirry di Jakarta, Kamis (24/06).
Jangankan sebagai pengurus partai politik, anggota KPU Abdul Aziz mengaku, seingatnya janji bermaterai seorang komisioner KPU berisi kesediaan bekerja secara penuh waktu, termasuk bersedia melepaskan jabatan fungsional seperti PNS.
Secara penuh waktu, komisioner hanya menjalankan tugas KPU selama masa jabatannya. Jika sebelumnya berprofesi advokat, maka profesi itu harus ditanggalkan dulu selama masa menjabat.
Plin-Plan
Proses DK KPU tengah berjalan. Kini masalah tak hanya soal bergabungnya Andi Nurpati ke Demokrat. Seperti dikemukakan ketua DK KPU, Jimly Asshiddiqie, DK menyidangnya dalam dua dugaan pelanggaran kode etik. Yakni berkaitan dengan pemilukada Toli-Toli dan keterlibatannya sebagai pengurus partai politik.
Di hadapan sidang DK KPU ini, Selasa (29/06), setelah soal Hak Asasi, Andi Nurpati mengeluarkan alasan baru tentang langkahnya menerima tawaran Demokrat. Dia merasa tidak dikehendaki lagi di lembaga penyelenggara pemilu itu, sehingga memutuskan menarik. "Saya memahami, saya sudah tidak dikehendaki lagi berada di KPU. Lalu mengapa saya terus memaksa tinggal di KPU," ujar dia.
Andi Nurpati mengaku sebenarnya dia lebih senang berada di lembaga independen. Tapi karena ada kondisi dan situasi yang mempengaruhi akhirnya dia loncat pagar ke Partai Demokrat. "Silakan masyarakat yang menilai. Yang pasti kalau saya sedang di lembaga independen, saya bekerja secara independen."
Pertanyaannya adalah, bukankah ketika Anas mencantumkan namanya dalam kepengurusan Demokrat, Andi Nurpati masih menjadi anggota KPU? Tentu saja, ketika Anas mentasbihkannya di Demokrat, ada proses dialog atau tawar menawar antara keduanya? Lalu dimana letak sikap independen itu?
Tetapi, keberadaannya di jajaran pengurus Partai Demokrat yang diumumkan pertengahan Juni lalu membuat orang bercuriga. Karena patut diduga, ia sudah menjadi aktifis Demokrat saat masih sebagai anggota KPU. Soalnya, akan menjadi naif jika Demokrat mengangkat seorang menjadi pengurus inti, tanpa sebelumnya orang tersebut mengantongi kartu tanda anggota partai.
Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia melontarkan ide, untuk mengetahui sejak kapan persisnya Andi Nurpati bergabung dengan Demokrat penting untuk melihat Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Demokrat milik Andi Nurpati. Karena aturan di Demokrat hanya akan mengangkat pengurus yang sudah menjadi anggota selama waktu tertentu.
Sayang, hingga digelarnya sidang DK, Andi Nurpati ataupun Anas Urbaningrum tak menanggapi usulan Arbi untuk menunjukkan KTA dimaksud. Wajar bila kemudian lahir pergunjingan, adanya pembuatan KTA bertanggal mundur.
Persidangan DK KPU memang belum sampai pada putusan. Kasus ini juga menjadi batu ujian kredibilitas KPU. "Jadi jangan khawatir soal independensi anggota KPU di Dewan Kehormatan. Kami jamin," kata Endang, anggota KPU, yang masuk dalam tim DK KPU.
Akan tetapi, dengan taraf persoalan yang sudah ruwet seperti ini, banyak yang bertanya-tanya. Apakah tujuan Demokrat menariknya untuk meraih target partai dimasa mendatang akan tercapai? Tidakkah, kasus ini justru jadi bumerang dan mencoreng demokrat sendiri? Andi Nurpati mungkin tokoh perempuan yang terbilang cemerlang berkarir di kancah negara demokrasi ini. Akan sangat disayangkan jika penyikapannya dalam ‘migrasi’ ke demokrat menjadi sebuah cacat politik di mata publik.
Akan seperti apa bentuk penjelasan kepada publik, baik oleh Andi Nurpati atau oleh DPP Partai Demokrat dalam menuntaskan salah satu blunder politik ini? Tentu perlu kesabaran untuk menunggu.
Kapolres Banyuwangi Diperiksa Propam Polda Jatim
Politikindonesia - Insiden Banyuwangi terus bergulir. Pengaduan anggota Fraksi PDIP DPR Ribka Tjiptaning ke Kapolri sudah berbuah. Paling tidak, Mabes Polri menyerahkan pemeriksaan Kapolres Banyuwangi AKBP Slamet Hadi Supraptoyo ke Propam Polda Jawa Timur. Pemeriksaan terkait pembubaran acara Ribka Cs oleh pihak tertentu. FPI bersikukuh tidak terlibat dalam insiden tersebut. FPI mengancam akan mengadukan siapa pun yang menyebutkan FPI terlibat kasus itu.
Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri, Brigjen Budi Waseso, mengemukakan hal tersebut kepada wartawan yang menghubunginya, Rabu (30/06).
Kapolres Banyuwangi dilaporkan karena diduga tidak melakukan tindakan apa pun atas pembubaran paksa yang dikabarkan dilakukan pihak Front Pembela Islam, beserta beberapa ormas lainnya. Karena kasusnya di daerah, di sebuah rumah makan di Banyuwangi, Jawa Timur, pemeriksaannya disersahkan ke Propam Wilayah. "Itu kejadiannya di Polres Banyuwangi jadi masih kewenangannya Propam Polda Jatim."
Meski begitu, pihak Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri tetap akan melihat hasil penanganan terhadap Kapolres Banyuwangi itu. Tetapi, Budi tidak menyebutkan kapan waktu pemeriksaan Slamet Hadi itu. Jika Mabes Polri merasa perlu turun tangan, kata Budi, penanganan Kapolres Banyuwangi, yang diduga melakukan pembiaran pembubaran acara itu, akan diambilalih Tim Propam Mabes Polri.
"Ya, kami serahkan ke wilayah dulu, nanti kita lihat hasilnya. Karena, ini berjenjang harus mengedepankan wilayah. Tapi tidak tertutup kemungkinan nanti Mabes turun tangan, kalau dirasakan memang belum terungkap," kata dia.
Sampai Rabu ini, pihak Propam Mabes Polri belum bisa mengatakan apakah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Kapolres Banyuwangi atau tidak. Sejauh ini, Budi mengatakan, pihaknya belum dapat laporan hasil pemeriksaannya. Ia berjanji jika nanti ada indikasi pelanggaran, Propam Polri pasti akan memeriksa fakta-fakta kasus tersebut.
Seperti diketahui, kasus tersebut merupakan buntut dari pembubaran acara yang digelar Fraksi PDIP DPR dari Komisi IX, di antaranya melibatkan Ribka Tjiptaning dan Rieke Dyah Pitaloka. Acara yang berlangsung di Banyuwangi, Jawa Timur itu, dihentikan di tengah jalan oleh organisasi massa, yang menurut Ribka dan Rieke, di antaranya termasuk FPI.
Bukan FPI
Kepala Bidang Nahi Munkar FPI, Munarman, membantah organisasinya terlibat dalam kasus itu. Bekas Direktur YLBHI itu malah mengancam, siapa pun yang menyebut FPI terlibat, termasuk tulisan wartawan, harus siap berhadapan dengan hukum. Jika ada fitnah, kata dia, akan ada upaya hukum.
"Kami akan melakukan langkah hukum dan politik bagi para pemfitnah. Termasuk para penulis berita," kata Munarman, di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu.
Karena itu, Front Pembela Islam tidak bertanggungjawab atas insiden pengusiran acara yang digelar politisi PDI Perjuangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Pasalnya, sejak dua bulan lalu, tidak ada lagi Dewan Pengurus Wilayah (DPW) FPI Banyuwangi. Munarman menyebutkan, DPW FPI Banyuwangi sejak 2 bulan lalu dibekukan.
Soal pembekuan DPW FPI Banyuwangi, Munarman mengatakan, ada persoalan internal, terkait politik lokal. Selain DPW Banyuwangi, kata dia, DPW Bandung juga dibekukan. Fakta inilah yang tidak diketahui orang, termasuk oleh pihak media.
Munarman memastikan FPI sama sekali tak mengetahui peristiwa itu, baik sebelum maupun setelah kejadian. Munarman menegaskan, peristiwa Banyuwangi murni gerakan masyarakat dan 10 elemen ormas Islam lain. Dengan fakta itu, ia mengatakan, FPI tidak dapat bertanggungjawab dengan kegiatan apapun yang mengatasnamakan FPI di Banyuwangi. FPI juga tidak bisa dikait-kaitkan lagi dalam peristiwa Banyuwangi.
(mun/na)Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri, Brigjen Budi Waseso, mengemukakan hal tersebut kepada wartawan yang menghubunginya, Rabu (30/06).
Kapolres Banyuwangi dilaporkan karena diduga tidak melakukan tindakan apa pun atas pembubaran paksa yang dikabarkan dilakukan pihak Front Pembela Islam, beserta beberapa ormas lainnya. Karena kasusnya di daerah, di sebuah rumah makan di Banyuwangi, Jawa Timur, pemeriksaannya disersahkan ke Propam Wilayah. "Itu kejadiannya di Polres Banyuwangi jadi masih kewenangannya Propam Polda Jatim."
Meski begitu, pihak Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri tetap akan melihat hasil penanganan terhadap Kapolres Banyuwangi itu. Tetapi, Budi tidak menyebutkan kapan waktu pemeriksaan Slamet Hadi itu. Jika Mabes Polri merasa perlu turun tangan, kata Budi, penanganan Kapolres Banyuwangi, yang diduga melakukan pembiaran pembubaran acara itu, akan diambilalih Tim Propam Mabes Polri.
"Ya, kami serahkan ke wilayah dulu, nanti kita lihat hasilnya. Karena, ini berjenjang harus mengedepankan wilayah. Tapi tidak tertutup kemungkinan nanti Mabes turun tangan, kalau dirasakan memang belum terungkap," kata dia.
Sampai Rabu ini, pihak Propam Mabes Polri belum bisa mengatakan apakah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Kapolres Banyuwangi atau tidak. Sejauh ini, Budi mengatakan, pihaknya belum dapat laporan hasil pemeriksaannya. Ia berjanji jika nanti ada indikasi pelanggaran, Propam Polri pasti akan memeriksa fakta-fakta kasus tersebut.
Seperti diketahui, kasus tersebut merupakan buntut dari pembubaran acara yang digelar Fraksi PDIP DPR dari Komisi IX, di antaranya melibatkan Ribka Tjiptaning dan Rieke Dyah Pitaloka. Acara yang berlangsung di Banyuwangi, Jawa Timur itu, dihentikan di tengah jalan oleh organisasi massa, yang menurut Ribka dan Rieke, di antaranya termasuk FPI.
Bukan FPI
Kepala Bidang Nahi Munkar FPI, Munarman, membantah organisasinya terlibat dalam kasus itu. Bekas Direktur YLBHI itu malah mengancam, siapa pun yang menyebut FPI terlibat, termasuk tulisan wartawan, harus siap berhadapan dengan hukum. Jika ada fitnah, kata dia, akan ada upaya hukum.
"Kami akan melakukan langkah hukum dan politik bagi para pemfitnah. Termasuk para penulis berita," kata Munarman, di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu.
Karena itu, Front Pembela Islam tidak bertanggungjawab atas insiden pengusiran acara yang digelar politisi PDI Perjuangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Pasalnya, sejak dua bulan lalu, tidak ada lagi Dewan Pengurus Wilayah (DPW) FPI Banyuwangi. Munarman menyebutkan, DPW FPI Banyuwangi sejak 2 bulan lalu dibekukan.
Soal pembekuan DPW FPI Banyuwangi, Munarman mengatakan, ada persoalan internal, terkait politik lokal. Selain DPW Banyuwangi, kata dia, DPW Bandung juga dibekukan. Fakta inilah yang tidak diketahui orang, termasuk oleh pihak media.
Munarman memastikan FPI sama sekali tak mengetahui peristiwa itu, baik sebelum maupun setelah kejadian. Munarman menegaskan, peristiwa Banyuwangi murni gerakan masyarakat dan 10 elemen ormas Islam lain. Dengan fakta itu, ia mengatakan, FPI tidak dapat bertanggungjawab dengan kegiatan apapun yang mengatasnamakan FPI di Banyuwangi. FPI juga tidak bisa dikait-kaitkan lagi dalam peristiwa Banyuwangi.
Berebut Jatah Kursi Menteri
Liputan6.com, Jakarta: Selasai sudah pemilu presiden 2009. Kini sudah dapat diprediksi siapa sang pemenangnya. Setelah hampir pasti Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono memenangi pilpres, partai-partai koalisi mulai merapatkan barisan untuk membicarakan ihwal jatah pembagian kekuasaan di kabinet. Memilih anggota kabinet adalah hak prerogatif presiden. Namun, penentuan menteri tak terlepas dari upaya balas jasa kepada partai koalisi. Ketua DPP Partai Demokrat Mohammad Jafar Hafsah mengatakan, mengenai menteri merupakan hak prerogatif presiden dan diutamakan dari kalangan profesional dan juga ada yang dari partai politik. Hal senada diungkapkan Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, Mustafa Kamal. “Kita mempersilahkah kepada pak SBY secara adil, arif, dan bijaksana untuk menentukan,” ungkap Mustafa Kamal dalam program Barometer, Rabu (15/7) malam.
Sementara itu Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa M. Hanif Dhakiri menyebutkan terlalu dini membicarakan bagi-bagi kursi kabinet. “Yang penting adalah recovery politik pasca pilpres,” kata Hanif. Partai Amanat Nasional yang juga anggota koalisi menyebutkan partainya berkepentingan untuk membantu SBY untuk membangun pemerintahan yang kuat. “Kami telah mempersiapkan kader-kader yang punya integritas dan kredibilitas untuk memperkuat pemerintahan,” kata Ketua DPP PAN Muhammad Najib.
Sabam Sirait, yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan tak baik semua parpol menjadi partai pemerintah. Namun demikian, power sharing juga bukan merupakan sesuatu yang jelek. “Partai politik ikut berpartisipasi dalam pemerintahan jangan dianggap salah,” kata Sabam. Sepertinya halnya PDIP, Partai Gerindra juga siap jadi oposisi. “Jika hasil KPU menyatakan pasangan kita kalah, maka kita siap menjadi oposisi,” kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Pengamat politik Komaruddin Hidayat mengatakan kalau kemenangan Yudhoyono dalam satu putaran ini menandakan SBY tidak terlalu banyak berutang kepada parpol yang ikut dalam koalisi. Karena itu kesempatan bagi SBY guna menyusun kabinet yang dapat “meratakan jalan” untuk lima tahun ke depan. “2009-2014 harus ada hasilnya,” kata Komaruddin. Saksikan selengkapnya pembahasan mengenai panasnya kursi kabinet dan sikap Partai Golkar dalam video Barometer.(JUM)
Pembangunan di Era Bung Karno
Kepemimpinan Bung Karno terus menerus berada di bawah tekanan militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik.
Ironisnya, meskipun menerima sistem parlementer, Bung Karno membiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945.
Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru menggantikan UUD 1945, Bung Karno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955, pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan Bung Karno. Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI.
Usai Pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulai bersidang untuk menyusun UUD baru. Namun sidang-sidang secara marathon selama lima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru.
Menyadari bahwa negara berada di ambang perpecahan, Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara, juga jatuh dan bangun oleh mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi ekonomi morat-marit. Sementara itu, para pemimpin Masjumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Kemudian, Bung Karno membubarkan kedua partai tersebut.
Pada fase kedua kepemimpinannya, 1959-1967, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM.
Namun di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Saat itu yang menjadi Panglima Komando Mandala (pembebasan Irja) adalah Mayjen Soeharto.
Tahun 1964-965, Bung Karno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya ke dalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung Inggris.
Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Bung Karno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi chaos di seluruh negeri. Kondisi politik dan keamanan hampir tak terkendali.
Menyadari kondisi tersebut, Bung Karno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang dilakukan Pak Harto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika itu, membubarkan PKI. (Selengkapnya baca: Pak Harto Terkait G-30-S/PKI?)
Bung Karno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggungjawaban di dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak. Kemudian Pak Harto diangkat selaku Pejabat Presiden. Pak Harto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI yang Kedua, Maret 1968.
Sementara pembangunan ekonomi, selama 22 tahun Indonesia merdeka, praktis dikesampingkan. Kalaupun ada, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara sporadis, tanpa panduan APBN. Pembangunan dilakukan hanya dengan mengandalkan dana pampasan perang Jepang.
Dari dana pampasan perang itu, Bung Karno membiayai pembangunan fisik, antara lain, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Gedung Sarinah, Stadion Senayan, Bendungan Jatiluhur, Hotel Samudra Beach, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Bali Beach dan Sanur Beach di Bali.
Defenisi PolitikSementara itu Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa M. Hanif Dhakiri menyebutkan terlalu dini membicarakan bagi-bagi kursi kabinet. “Yang penting adalah recovery politik pasca pilpres,” kata Hanif. Partai Amanat Nasional yang juga anggota koalisi menyebutkan partainya berkepentingan untuk membantu SBY untuk membangun pemerintahan yang kuat. “Kami telah mempersiapkan kader-kader yang punya integritas dan kredibilitas untuk memperkuat pemerintahan,” kata Ketua DPP PAN Muhammad Najib.
Sabam Sirait, yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan tak baik semua parpol menjadi partai pemerintah. Namun demikian, power sharing juga bukan merupakan sesuatu yang jelek. “Partai politik ikut berpartisipasi dalam pemerintahan jangan dianggap salah,” kata Sabam. Sepertinya halnya PDIP, Partai Gerindra juga siap jadi oposisi. “Jika hasil KPU menyatakan pasangan kita kalah, maka kita siap menjadi oposisi,” kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Pengamat politik Komaruddin Hidayat mengatakan kalau kemenangan Yudhoyono dalam satu putaran ini menandakan SBY tidak terlalu banyak berutang kepada parpol yang ikut dalam koalisi. Karena itu kesempatan bagi SBY guna menyusun kabinet yang dapat “meratakan jalan” untuk lima tahun ke depan. “2009-2014 harus ada hasilnya,” kata Komaruddin. Saksikan selengkapnya pembahasan mengenai panasnya kursi kabinet dan sikap Partai Golkar dalam video Barometer.(JUM)
Pembangunan di Era Bung Karno
Gelora Politik Revolusioner
Fase pertama pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959) diwarnai semangat revolusioner, serta dipenuhi kemelut politik dan keamanan. Belum genap setahun menganut sistem presidensial sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, pemerintahan Bung Karno tergelincir ke sistem semi parlementer. Pemerintahan parlementer pertama dan kedua dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM Muhammad Hatta yang merangkap Wakil Presiden.Kepemimpinan Bung Karno terus menerus berada di bawah tekanan militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya, pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan persaingan di antara partai-partai politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik.
Ironisnya, meskipun menerima sistem parlementer, Bung Karno membiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan umum. Semua anggota DPR (DPGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun 1945.
Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi baru menggantikan UUD 1945, Bung Karno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun 1955, pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan Bung Karno. Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU dan PKI.
Usai Pemilu, Badan Konstituante yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulai bersidang untuk menyusun UUD baru. Namun sidang-sidang secara marathon selama lima tahun gagal mencapai kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru.
Menyadari bahwa negara berada di ambang perpecahan, Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD Sementara, juga jatuh dan bangun oleh mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi ekonomi morat-marit. Sementara itu, para pemimpin Masjumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Kemudian, Bung Karno membubarkan kedua partai tersebut.
Pada fase kedua kepemimpinannya, 1959-1967, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM.
Namun di tengah tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. Saat itu yang menjadi Panglima Komando Mandala (pembebasan Irja) adalah Mayjen Soeharto.
Tahun 1964-965, Bung Karno kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsanya ke dalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi Malaysia yang didukung Inggris.
Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar tentang sakitnya Bung Karno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut menimbulkan situasi chaos di seluruh negeri. Kondisi politik dan keamanan hampir tak terkendali.
Menyadari kondisi tersebut, Bung Karno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang dilakukan Pak Harto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika itu, membubarkan PKI. (Selengkapnya baca: Pak Harto Terkait G-30-S/PKI?)
Bung Karno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggungjawaban di dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno ditolak. Kemudian Pak Harto diangkat selaku Pejabat Presiden. Pak Harto dikukuhkan oleh MPRS menjadi Presiden RI yang Kedua, Maret 1968.
Sementara pembangunan ekonomi, selama 22 tahun Indonesia merdeka, praktis dikesampingkan. Kalaupun ada, pembangunan ekonomi dilaksanakan secara sporadis, tanpa panduan APBN. Pembangunan dilakukan hanya dengan mengandalkan dana pampasan perang Jepang.
Dari dana pampasan perang itu, Bung Karno membiayai pembangunan fisik, antara lain, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Gedung Sarinah, Stadion Senayan, Bendungan Jatiluhur, Hotel Samudra Beach, Hotel Ambarukmo Yogyakarta, Bali Beach dan Sanur Beach di Bali.
Juga memulai membangun Gedung MPR/DPR, Tugu Monas dan Masjid Agung Istiqlal yang kemudian dirampungkan dalam era pemerintahan Pak Harto. Emas murni di pucuk Monas yang tadinya disebut 35 kilogram ternyata hanya 3 kilogram, kemudian disempurnakan pada era pemerintahan Orde Baru. ► e-ti/crs-sh, dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh IndonesiaSidang Kasus Bank Century Diwarnai Gelak Tawa
Senin, 29 Juni 2009 13:35 WIB | Peristiwa |
Hukum/Kriminal | Dibaca 948 kali
Surabaya (ANTARA News) - Sidang kasus penggelapan dana nasabah Bank Century senilai Rp400 miliar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin, diwarnai gelak tawa para pengunjung yang hadir di sidang itu.
Seorang saksi, Sri Gayatri, membuat suasana sidang siang itu berbeda dari sidang-sidang sebelumnya.
Selain dandanan yang menyolok, keterangan perempuan berusia 50 tahun yang mengaku menderita kerugian hingga Rp67 miliar dalam kasus tersebut membuat majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan pengunjung sidang tertawa.
“Kalau dia tidak mau mengembalikan uang, biarkan saya saja yang menghakimi, Pak Hakim,” kata perempuan dengan aksesori berbentuk ular pada lehernya itu sambil melirik Direktur Pemasaran Bank Century Wilayah V (Surabaya-Bali), Lila Kumala Dewi Gondokusumo, yang duduk di kursi terdakwa.
Ia hanya menginginkan uangnya senilai Rp67 miliar itu dikembalikan. “Yang penting uang saya dikembalikan. Soal yang lain, urusan Pak Hakim,” katanya disambut tawa para pengunjung sidang.
Sri Gayatri mendominasi pembicaraan dalam sidang, kendati majelis hakim tidak mengajukan pertanyaan kepadanya.
Bahkan saat menyalami satu per satu majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan kuasa hukum terdakwa, janda beranak satu itu terus berteriak. “Tolong perhatikan orang kecil seperti kami ini. Kami butuh keadilan,” katanya sebelum sidang ditutup.
Di luar sidang, Sri Gayatri kembali berulah dengan mengajak foto bersama Lila Kumala Dewi yang saat itu berjalan dengan langkah cepat menuju ruang tahanan PN Surabaya.
Sebelumnya, Slamet Yuwono, selaku kuasa hukum terdakwa sempat mengajukan keberatan kepada majelis hakim karena ulang Sri Gayatri dianggap melecehkan persidangan itu.
Namun Ketua Majelis Hakim, Nyoman Gede Wirya, dan empat hakim anggota tidak bereaksi sedikit pun atas protes tersebut.
Menurut Slamet, kliennya tidak bersalah dalam kasus itu. “Para saksi menandatangani surat perjanjian sehingga dana milik nasabah bukan secara otomatis di-transfer begitu saja,” katanya.
Transfer dana Bank Century untuk disimpan dalam bentuk reksadana di PT Anta Boga Delta Sekuritas, juga bukan dilakukan oleh kliennya.
“Dana nasabah yang tersimpan di masing-masing kantor cabang Bank Century disetor ke kantor pusat. Jadi direktur utama turut berperan dalam transfer dana nasabah,” kata anggota tim pengacara O.C. Kaligis & Partners itu.
(*)
(*)
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
* politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
* politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
* politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
* politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Daftar isi
[sembunyikan]
* 1 Ilmu politik
o 1.1 Teori politik
o 1.2 Lembaga politik
o 1.3 Partai dan Golongan
o 1.4 Hubungan Internasional
* 2 Masyarakat
* 3 Kekuasaan
* 4 Negara
* 5 Tokoh dan pemikir ilmu politik
o 5.1 Tokoh-tokoh politik
o 5.2 Pemikir-pemikir politik
+ 5.2.1 Mancanegara
+ 5.2.2 Indonesia
* 6 Perilaku politik
* 7 Lihat pula
* 8 Referensi
[sunting] Ilmu politik
[sunting] Teori politik
Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.
[sunting] Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.
Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.
Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
[sunting] Partai dan Golongan
[sunting] Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.
Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.
Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting, karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.
Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).
[sunting] Masyarakat
adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
[sunting] Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
[sunting] Negara
negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933
[sunting] Tokoh dan pemikir ilmu politik
[sunting] Tokoh-tokoh politik
[sunting] Pemikir-pemikir politik
[sunting] Mancanegara
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.
[sunting] Indonesia
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
[sunting] Perilaku politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:
* Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
* Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
* Ikut serta dalam pesta politik
* Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
* Berhak untuk menjadi pimpinan politik
* Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
[sunting] Lihat pula
Portal.svg Portal Politik
* Demokrasi
* Kebijakan Publik
* Partai Politik
* Pemilu
* Daftar Istilah Politik
[sunting] Referensi
1. ^ KBBI daring
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Politik”
Kategori: Politik
‘Salahkah George Berantas Korupsi?’ Diluncurkan