Selasa, 13 Oktober 2009

Tim Seleksi Cecar Soal Tugas dan Fungsi Hakim Agung

Jawaban soal pengetahuan teknis hukum dari calon yang berasal dari akademisi mampu membuat puas para komisioner. Tidak demikian jawaban dari hakim karir.

Komisi Yudisial (KY) kembali menggelar seleksi wawancara dengan para calon hakim agung pada Senin (5/10). Dalam sesi II, kandidat yang diwawancarai yaitu Dr Yurnal dari kalangan akademisi dan Zainal Arifin dari hakim karir. Keduanya merupakan kandidat terakhir yang menjalani seleksi wawancara yang dilakukan Komisioner KY sejak Senin (28/9) pekan lalu.

Dalam wawancara, Komisioner KY lebih banyak menanyakan soal tugas dan fungsi hakim agung kepada Yurnal. Komisioner KY sangat ingin mengukur pemahaman dasar tugas dan fungsi hakim agung selain pemahaman pengetahuan teknis hukum baik formil maupun materil.

Yurnal yang dosen dari Universitas Wijaya Putra Surabaya itu berjanji akan menjalankan tugasnya dengan baik jika terpilih menjadi hakim agung. Salah satunya dengan mengadili dan memutus perkara secara baik. Selain itu, misinya ingin mempercepat penyelesaian kasus-kasus yang menumpuk di Mahkamah Agung yang kabarnya terakhir sekitar 8800-an perkara.

Terkait dengan itu, Soekodjo Soeparto menanyakan soal gegar budaya (shock) menghadapi tumpukan perkara itu, Yurnal mengaku hal itu tidak menjadi masalah. “Saya kira tidak (gegar budaya), karena modal saya berusaha mempertahankan integritas moral dan kejujuran saya dan saya tidak akan pernah berhenti belajar,” dalih Yurnal yang juga berprofesi sebagai pengacara itu.

Ditanya soal cerminan kehormatan hakim, menurut Yurnal kehormatan hakim tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya. “Kehormatan hakim tercermin dalam putusannya,” kata Yurnal.

Diminta menjelaskan perbedaan judex factie dan judex juris, Yurnal menjelaskan dalam hakim judex factie merupakan hakim tingkat pertama dan banding yang masih dapat mengkonstantir dan mempertimbangkan fakta yuridis dan alat bukti dalam berkas perkara. Sedangkan judex juris, majelis hakim agung hanya memberikan pertimbangan hukum benar/tidaknya terhadap perkara yang telah diputus judex factie.

Atas jawaban itu, Busyro Muqoddas lanjut bertanya, “Apakah ada kemungkinan hakim agung merangkap sebagai hakim judex juris dan judex factie?” Yurnal menjawab kemungkinan itu bisa terjadi jika dalam memori atau kontra memori kasasi ternyata hakim judex factie belum memberikan pertimbangan hukum terhadap fakta yuridis dan alat bukti dalam berkas perkara. Tak puas dengan jawaban itu, Busyro kembali mempertanyakan dimana letak hakim agung saat menjalankan judex factie. Namun, Yurnal menjawab sama.

Komisioner lain, Prof Chatamarasjid, menyinggung tentang kehidupan privasi calon yang pernah menikah selama tiga kali meski sudah bercerai. Yurnal tak menampik hal itu. Ia mengaku perceraiannya sudah diselesaikan secara damai.

Saat ditanya teknis pengetahuan hukum, umumnya jawaban Yurnal cukup membuat puas para komisioner. Misalnya, ketika ia menjelaskan struktur putusan kasasi, amar putusan, surat kuasa umum (Pasal 1770 KUHPer) dan surat kuasa khusus (Pasal 1773 KUHPer). Termasuk akibat hukum jika surat kuasa tak sah yang putusannya dinyatakan tak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklard) karena surat kuasa tak sah. Namun, ironisnya Yurnal tak hapal ketika ditanya soal sistematika KUHPer, padahal hal itu merupakan pengetahuan dasar.

Belum puas

Tidak demikian kandidat lain, Zainal Arifin. Jawaban pengetahuan teknis hukum hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Banten itu nampaknya kerap belum memuaskan para komisoner. Misalnya saat komisoner –yang juga bernama- Zainal Arifin menanyakan soal dua dasar hukum yang mengatur soal perubahan gugatan. Ia hanya menjawab Rv, sementara dasar hukum lain ia mengaku lupa.

Terkait hal itu, Zainal Komisioner KY menanyakan pengecualian dari Pasal 344 Rv yang menyatakan perubahan gugatan tak diperkenankan di tingkat banding. Namun, Zainal calon hakim agung hanya menjawab kecuali persetujuan tergugat. Padahal, kata Zaenal Komisioner, ada istilah baku dari pendapat Prof Zaenal Asikin soal pengecualian perubahan gugatan. Kemudian Zaenal meluruskan syaratnya tergugat diberi kesempatan untuk membela kepentingannya. “Itu istilah Prof Zaenal Asikin Kusumatmadja.”

Saat ditanya akibat hukum surat kuasa khusus tidak sah, jawaban Zainal seperti tebak-tebakan. Ia awalnya menjawab surat itu tak sah. Selanjutnya, menjawab surat kuasa itu tak mempunyai kekuatan hukum. “Surat kuasa itu menjadi batal dan perkara ditolak,” kata Zainal calon hakim agung. “Loh bukan ditolak istilahnya, apa istilahnya?” tanya Zainal Komisioner lagi. Ujungnya, Zainal tak bisa menjawab. Kemudian Zainal Komisioner meluruskan bahwa pemeriksaan dianggap tak sah pula jika surat kuasa tak sah.

Selain itu, Zainal calon hakim agung pun tak mampu menjawab ketika ditanya soal perkara apa saja yang proses upaya hukumnya tak melalui banding di pengadilan tinggi, tetapi langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Komisioner KY yang lain Thahir Saimina memberi contoh salah satunya adalah perkara niaga.

(ASh)

0 komentar:

Posting Komentar