Minggu, 18 Oktober 2009

RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR ... TAHUN ...
TENTANGPENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSIDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara yang tertib, sejahtera, dan berkeadilan dalam rangka
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi telah
menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara, karena itu upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan
secara terus menerus dan berkesinambungan yang menuntut
peningkatan kapasitas segala sumber daya baik kelembagaan,
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, termasuk
peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkembangkan
kesadaran dan sikap tindak masyarakat anti korupsi;
c. bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dasar
pembentukannya ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh karena itu
pengaturan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu diatur
kembali dengan undang-undang yang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3316) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4359);
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4379);
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4150);
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN TINDAK
PIDANA KORUPSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hakim adalah hakim karier dan hakim Ad hoc.
2. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.


3. Hakim Ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan
yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana
korupsi.
4. Penuntut Umum adalah penuntut umum pada Kejaksaan dan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang ditetapkan sebagai penuntut umum tindak
pidana korupsi.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota
yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan.
Pasal 4
Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan.
BAB III
KEWENANGAN
Pasal 5
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 6
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi;
c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.


Pasal 7
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus penggabungan tuntutan ganti rugi
akibat suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi.
Pasal 8
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia
di luar wilayah negara Republik Indonesia.
BAB IV
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Hakim; dan
c. panitera.
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua
dan Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas
administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
(4) Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada wakil ketua.
Bagian Ketiga
Hakim
Pasal 11
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim Ad hoc.
(2) Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung.

(3) Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(4) Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial.
(5) Hakim Ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat untuk masa
jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Pasal 12
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh)
tahun;
b. berpengalaman menangani perkara pidana;
c. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik selama menjalankan tugas;
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara
pidana;
e. memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
f. telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman di bidang hukum sekurangkurangnya
selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim Ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi, dan 20 (dua
puluh) tahun untuk Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung;
e. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses
pemilihan untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan
Pengadilan Tinggi, dan 50 (lima puluh) tahun untuk Hakim Ad hoc pada
Mahkamah Agung;
f. tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi
yang baik;
h. tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i. melaporkan harta kekayaannya; dan
j. bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi.


Pasal 14
(1) Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim Ad hoc pada Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung
membentuk panitia seleksi yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan
masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan
transparan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim Ad
hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) diatur dengan peraturan
Komisi Yudisial.
Pasal 15
(1) Sebelum memangku jabatan, Hakim Ad hoc diambil sumpah atau janji
menurut agamanya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim Ad hoc pada Mahkamah Agung;
b. Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim Ad hoc pada pengadilan tinggi;
c. Ketua pengadilan negeri untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai
berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pasal 16
Hakim Ad hoc dilarang merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
c. pimpinan atau anggota lembaga negara;
d. kepala daerah;
e. advokat;
f. notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau
g. jabatan lain yang dilarang dirangkap sesuai dengan peraturan perundangundangan.


Pasal 17
Selain larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Hakim Ad hoc yang
memangku jabatan struktural dan/atau fungsional harus melepaskan jabatannya.
Bagian Keempat
Pemberhentian Hakim
Pasal 18
Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;
c. terbukti tidak cakap dalam menjalankan tugas;
d. telah memasuki masa pensiun, bagi Hakim Karier; atau
e. telah selesai masa tugasnya, bagi Hakim Ad hoc.
Pasal 19
Hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; atau
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
Pasal 20
(1) Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh:
a. Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dan Pengadilan Tinggi;
b. Presiden atas usul Komisi Yudisial untuk Hakim Ad hoc pada
Mahkamah Agung.
(2) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a, dilakukan apabila Hakim yang bersangkutan telah ditetapkan
sebagai tersangka.
(3) Pemberhentian sementara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir
tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian maka pemberhentian sementara
harus dicabut.
(5) Hakim yang diberhentikan sementara dilarang menangani perkara.
Pasal 21
Tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan
pemberhentian sementara, serta hak-hak Hakim yang dikenakan pemberhentian
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Hak Keuangan dan Administratif Hakim
Pasal 22
(1) Hakim mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan tanpa membedakan kedudukan Hakim.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Panitera
Pasal 23
(1) Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan
khusus yang dipimpin oleh seorang panitera.
(2) Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan pengangkatan, dan
pemberhentian pada jabatan kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan
tata kerja kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
BAB V
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
Pasal 25
(1) Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyediakan informasi yang bersifat
terbuka dan dapat diakses oleh publik mengenai penyelenggaraan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan informasi yang bersifat terbuka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
BAB VI
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.

Pasal 27
(1) Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim
Karier dan Hakim Ad hoc.
(2) Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5
(lima) orang hakim, maka komposisi mejelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2
(dua).
(3) Penentuan mengenai jumlah dan komposisi hakim majelis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh masing-masing ketua
pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan
kepentingan pemeriksaan perkara kasus perkasus.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 28
(1) Setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menerima penyerahan berkas
perkara, dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk seorang Hakim untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan
mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kecermatan materi surat dakwaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemeriksaan
pendahuluan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak
tanggal penunjukannya.
(3) Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.
(4) Dalam hal Hakim berpendapat kelengkapan dan materi surat dakwaan
belum lengkap, surat dakwaan dikembalikan kepada penuntut umum untuk
diperbaiki.
(5) Surat dakwaan yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima.
Bagian Ketiga
Penetapan Hari Sidang
Pasal 29
(1) Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan susunan majelis
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam waktu paling lambat 3
(tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal selesainya pemeriksaan
pendahuluan.
(2) Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksanakan dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan majelis
Hakim.
Bagian Keempat
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 30
(1) Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, harus diperoleh
secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2) Hakim menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka
persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh
terdakwa.
Pasal 31
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5).
Pasal 32
Pemeriksaan tingkat banding Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara
diterima oleh Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
Pemeriksaan tingkat kasasi Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Pasal 34
Dalam hal putusan pengadilan dimintakan peninjauan kembali, pemeriksaan
perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah
Agung.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 35
(1) Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini
dibebankan pada anggaran Mahkamah Agung yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Mahkamah Agung setiap tahun wajib menyusun rencana kerja dan
anggaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini.


b. Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi,
dan Mahkamah Agung, adalah Hakim Ad hoc sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 37
Sebelum terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4:
a. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
huruf a, tetap berwenang mengadili tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi;
b. Pengadilan Negeri sesuai dengan daerah hukumnya tetap berwenang
mengadili tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh
Penuntut Umum pada kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 38
Sebelum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4 dibentuk, perkara tindak pidana korupsi yang telah dilimpahkan atau
yang sedang diperiksa pada setiap tingkat pemeriksaan dan peninjauan kembali,
diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sebelum Undang-Undang ini.
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Hakim Ad hoc Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang telah diangkat sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap bertugas
sampai dengan berakhirnya masa jabatan Hakim Ad hoc yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
(1) Dengan Undang-Undang ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dibentuk pada pengadilan negeri di setiap ibukota
provinsi.
(2) Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan.
(3) Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada setiap kotamadya
dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 dilakukan secara bertahap dengan Peraturan
Presiden.
(2) Dalam hal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak tersedia Hakim Ad hoc yang mempunyai keahlian yang
diperlukan dalam pemeriksaan perkara, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat
meminta Hakim Ad hoc pada Ketua Pengadilan Negeri lainnya dalam daerah
hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.


Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 53 sampai dengan
Pasal 62 dari Bab VII mengenai Pemeriksaan di Sidang Pengadilan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal .................
MENTERI HUKUM DAN HAK SASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA


Sumber : www.legalitas.org







0 komentar:

Posting Komentar