Kamis, 05 November 2009

Polisi Ikut Gugat Wewenang Penyidikan Ganda Kejaksaan

Timbul kesan seolah-olah hanya Kejaksaan yang mampu menyidik perkara pidana khusus.

Pemohon uji materi Pasal 30 Undang Undang No 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Subarda Midjaja, seakan mendapat angin segar. Permohonannya yang menggugat kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan sekaligus, ternyata didukung Kepolisian. “Dengan kewenangan ganda tersebut, bisa terjadi abuse of power,” ujar Kombes Pol RM Panggabean dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/1).

Kabid Penerapan Hukum dan UU dalam Divisi Pembinaan Hukum Polri ini menilai aturan tersebut justru mengambil kewenangan kepolisian dalam menyidik kasus tindak pidana khusus. “Sehingga menimbulkan kesan, hanya kejaksaan yang mampu menyidik kasus pidana khusus atau korupsi. Polisi dinilai tak mampu,” ujarnya.

Aturan kewenangan penyidikan oleh kejaksaan, lanjut Panggabean, memang tak serta merta menghapus kewenangan kepolisian dalam menyidik tindak pidana khusus. “Tapi selalu mentok di Kejaksaan. Seakan ada sentimen dari penuntut umum kepada kepolisian,” ujarnya.

Panggabean mengungkapkan perdebatan ini memang sudah sering terjadi. Bahkan, lanjutnya, banyak praktisi hukum yang sempat menolaknya. OC Kaligis, ujar Panggabean, juga pernah mengkritik. Berdasarkan catatan hukumonline, dalam sebuah bukunya, pengacara kondang tersebut pernah curhat mengenai kasus yang ditanganinya. “Yang menyidik Ali Mukartono, lalu yang menjadi penuntut umum juga Ali Mukartono,” tulis OC Kaligis.

Apa yang disampaikan Panggabean mestinya bukan pandangan pribadi. Sebab, kehadirannya di MK adalah mewakili institusi kepolisian. Kepolisian diundang memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam perkara permohonan Subarda. Sikap kepolisian tentu menjadi amunisi bagi Subarda. Ketika ditanya oleh Ketua Majelis Konstitusi Jimly Asshidiqqie, Panggabean menjawab dengan tegas. “Kami setuju dengan pemohon,” tuturnya.

Meski begitu, ia menegaskan sikap ini bukan terkait masalah persaingan antar institusi. “Ini soal sistem yang bermasalah,” tambahnya.

Alasan memperbaiki sistem yang bermasalah juga digunakan pemohon dengan membawa perkara ini ke MK. Menurut kuasa hukum pemohon, Ahmad Bay Lubis, bila hanya mempermasalahkan penahanan kliennya dalam tahap penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan, lembaga praperadilan memang bisa digunakan. “Praperadilan sudah diajukan, tapi dicabut kembali,” ujarnya.

Ahmad Bay menilai lembaga praperadilan hanya menyelesaikan persoalan yang dialami kliennya saja. Sedangkan yang ia lakukan saat ini, membawa ke MK, bertujuan untuk menyelesaikan persoalan secara menyeluruh. “Agar sistem hukum pidana Indonesia lebih baik lagi,” ujarnya.

Setback ke HIR

Hakim Konstitusi Achmad Roestandi coba menelaah kewenangan ganda kejaksaan. Menurut dia, campur aduk kewenangan antar penyidik dan penuntut umum dahulu sudah terjadi di HIR. Lalu, lahirlah KUHAP yang diklaim sebagai karya agung bangsa Indonesia. “Dalam KUHAP jelas. Polisi menyidik, jaksa menuntut, dan hakim memutus,” ujarnya.

Dengan adanya kewenangan ganda ini, masih menurut Roestandi, seakan sistem hukum Indonesia kembali ke masa lalu. “Ini seperti setback ke HIR,” ujarnya. Karenanya, ia bertanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk UU. “Latar belakangnya seperti apa?” tanyanya.

Anggota Komisi III DPR Akil Mochtar menilai perdebatan ini memang sempat terjadi di Senayan ketika pembahasan Rancangan UU Kejaksaan. Akil termasuk yang menolak kewenangan ganda Kejaksaan. “Dalam risalah persidangan jelas, perdebatan seputar ini yang paling panjang,” ujarnya.

Namun, lanjut Akil, akhirnya disepakati kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan itu masuk ke dalam UU. Bargaining yang diberikan adalah dibentuknya Komisi Kejaksaan. Dengan dibentuknya Komisi Kejaksaan, kekhawatiran tak adanya checks and balances bisa dihilangkan. “Komisi Kejaksaan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan,” tambahnya.

Selain itu, Akil juga mengatakan sebelum adanya UU Kejaksaan, sudah banyak UU yang mengatur penyidikan oleh lembaga non kepolisian. “Misalnya, UU No 26 Tahun 2000 tentang HAM,” ujarnya memberi contoh. Dalam UU tersebut, memang kewenangan penyidikan dipegang oleh Jaksa Agung.

Koordinator penyidik

Pada siding yang sama, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mencoba menafsirkan KUHAP bahwa posisi polisi adalah sebagai koordinator penyidik. “Agak aneh bila kejaksaan melakukan penyidikan tanpa komunikasi dan koordinasi dengan polisi,” ujarnya. Ia menganalogikan dengan posisi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). “Masak penyidik perikanan ujug-ujug masuk pengadilan,” tambahnya.

Hakim I Dewa Gede Palguna mengingatkan ketentuan KUHAP yang memberikan kewenangan penyidikan kepada lembaga di luar kepolisian (PPNS) hanya bersifat transisi. Ia mengutip ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal itu menyatakan Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.


0 komentar:

Posting Komentar