Minggu, 09 Mei 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang
merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal
25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Pasal 2
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 3
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah
peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
Pasal 4
Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA".
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(4)
(1)
(2)
(1)
(2)
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dipidana.
Pasal 5
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan
orang.
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 6
Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain
daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
atas dirinya.
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh
kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Pasal 8
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 9
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi.
Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana.
Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi
dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.
BAB II
BADAN PERADILAN DAN ASASNYA
Pasal 10
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi
badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 11
Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari
keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2).
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
terhadap undang-undang; dan
(3)
(4)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai
hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat
diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 12
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 13
Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di
bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Pasal 14
Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.
Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undangundang.
Pasal 15
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan
undang-undang.
Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan umum.
Pasal 16
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 17
Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
menentukan lain.
Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang
bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan
melakukan pekerjaan panitera.
Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum,
kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 18
Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan
dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri
terdakwa.
Pasal 19
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 20
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 21
(1)
(2)
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan
pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Pasal 22
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 23
(1)
(2)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan
peninjauan kembali.
Pasal 24
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam
keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
Pasal 25
(1)
(2)
(3)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang
memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara
pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan
panitera sidang.
Pasal 26
Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi
bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Pasal 27
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan
apabila diminta.
BAB IV
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA
Pasal 28
(1)
(2)
(1)
(2)
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal 29
Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang
mengadili perkaranya.
Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak
seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai
(3)
(4)
(5)
(6)
(1)
(2)
(3)
dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau
panitera.
Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami
atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau
advokat.
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti,
dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
Sumpah:
?Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa.?
Janji:
?Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa.?
Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita
adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
BAB V
KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN
Pasal 31
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur
dalam undang-undang.
Pasal 32
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,
adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 33
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga
kemandirian peradilan.
Pasal 34
(1)
(2)
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang.
Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 35
Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang
pengangkatan dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam
undang-undang.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 36
(1)
(2)
(3)
(4)
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh
jaksa.
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang
bersangkutan berdasarkan undang-undang.
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 37
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
Pasal 38
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan
penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta
bantuan advokat.
Pasal 39
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi
hukum dan keadilan.
Pasal 40
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur
dalam undang-undang.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 41
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik
Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan
paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni
2004.
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan
peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni
2004.
Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
paling lambat:
a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakhir;
b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.
Pasal 43
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):
a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata
usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi
pegawai pada Mahkamah Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan
tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap
menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;
c. semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan
pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung.
Pasal 44
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):
a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah
Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat
Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan
pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah
Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris
Mahkamah Agung.
Pasal 45
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):
a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
mengatur personel militer;
b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih
menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.
Pasal 46
Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di
lingkungan Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 48
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8